Pagi mendung. Langit sewarna abu rokok. Dari balik jendela, aku melihat luka di mata seorang lelaki paruh baya. Ah, luka yang menganga. Tentang geringya hidup yang terhunus dalam tiap titian pahat yang ia torehkan. Ah, laki-laki beraroma tembakau itu, lagi-lagi memandang sambil menengadah langit.
Ini terang bukan salahnya memang jika anak-anaknya juga mengalami nasib yang kembar; hidup dalam kepungan kemiskinan yang merayap dan menyelubung. Lihatlah, bagaimana menantunya harus disergap dari dalam rumah ketika ketangkap basah sedang menyabu. Anak perempuannya meraung-raung di tengah gelap yang menyungkup. Oi, itu baru awal; kini bergulir sebuah kisah yang menghentak batin di penghujung senja. Ketika ia mendapati anak-anaknya yang lain sedang terkulai dengan mulut berbusa. Pedih, perih...