Pages

Review Film : Hafalan Shalat Delisa

Rabu, 28 Desember 2011

Tsunami Aceh tahun 2004 lalu masih menyisakan luka yang mendalam. Tidak hanya bagi korban bencana, namun siapapun yang melihat dan mendengar berita itu, sudah dipastikan remuk redam yang terkubur dalam palung jiwa akan menyeruak kembali. Sebab inilah bencana alam terbesar di tahun 2004 yang menelan beribu korban di negeri serambi Mekah ini.

Setelah 7 tahun berlalu, kisah pilu ini kemudian berani diangkat ke layar lebar oleh seorang sutradara Indonesia,Sony Gaokasak, dan inilah film pertama Indonesia yang mengangkat tema bencana Tsunami.

Film ini sebenarnya berangkat dari sebuah novel bestseller karya Tere Liye, berkisah tentang seorang gadis kecil bernama Delisa yang harus kehilangan umminya (diperankan oleh Nirina Zubir) dan ketiga saudara kandungnya, Fatimah, Aisya dan Zahra (dua saudara kembar) pasca Tsunami.

Gempa yang disusul tsunami itu terjadi pada pagi hari saat Delisa akan mengikuti ujian hafalan shalat. Dengan penuh konsentrasi Delisa menghafal bacaan shalatnya. Ia teringat pesan sang ustaz, jika seseorang khusyuk dalam sholatnya maka apapun yang menimpanya tidak ia rasakan. Dan inilah yang dilakukan Delisa, saat seluruh orang-orang panik menyelamatkan diri dari gempa dan Tsunami, gadis kecil itu bergeming dengan hafalan shalatnya.

Takdir berbicara lebih lanjut. Delisa selamat dan mendapatkan perawatan intensif di rumah sakit. Hanya saja, gadis kecil malang ini harus rela kehilangan kaki kanannya. Ia tinggal dengan Abi Usman (diperankan oleh Reza Rahadian) di tengah porak-poranda pasca bencana. Meski kehilangan sebelah kaki, Delisa tetap hidup dengan jiwa optimis, ceria dan menginspirasi buat orang-orang di sekitarnya. Konon lagi, ia mendapat dua teman baru relawan dari luar negeri, Suster Sophie dan Kapten Smith.

Secara keseluruhan, film ini berhasil menumpahkan seluruh isi novel ke dalam film. Hanya saja nasib yang sama kembali terulang pada film ini. Ya, sama seperti film-film pendahulunya yang juga diadaptasi dari novel. Film ini kehilangan ruhnya. Film ini kering dan tidak menimbulkan efek kejiwaan yang kuat bagi penonton.

Sebagai sebuah film yang ditujukan untuk menguras air mata. Materi Hafalan Shalat Delisa  sebenarnya sudah sangat kuat. Kuat sekali malah. Hanya saja, kekuatan itu menjadi begitu tidak fokus saat melihat para karakter ceritanya menjadi tampak begitu kebingungan, khususnya pada penggunaan dialog-dialog yang kaku. Aksen Aceh yang tidak terasa membuat kisah ini seolah bukan terjadi di Aceh. Satu-satunya yang mendukung dan meyakinkan para penonton bahwa kisah ini di Aceh adalah setting dan soundtracknya.

Sebenarnya akting Chantiq Schagerl (pemeran Delisa) sudah sangat meyakinkan dengan beragam kepolosan yang ia lakoni. Hanya saja (sebab tuntutan sutradara) akting yang seharusnya natural itu seperti dipaksakan. Delisa disulap menjadi bijak, tapi kebijakan itu terasa sekali tidak lahir dari dalam jiwanya. Kosong. Perannya tidak sampai menyentuh penonton. Begitupan dengan sang ustaz (diperankan oleh Fathir Muckhtar),peran ustaz yang ia lakoni tidak meyakinkan.  Intinya, Sony Gaokasak, kurang mampu menggali emosi karakter tokoh film ini agar sampai ke jiwa penonton.

Rekonstruksi ulang tentang kejadian gempa dan Tsunami dalam film ini (maaf saya terpaksa mengatakannya) terbilang gagal. Gempa yang divisualkan tidak begitu melahirkan rasa gemuruh dan takut di jiwa penonton. Atmosfer itu tidak bisa dirasakan. Gempa yang tidak meyakinkan. Bagaimana bisa saat gempa terjadi tapi daun pintu tidak bergoyang. Meja-meja di dalam kelas tidak bergeser? Lalu disusul visual Tsunami yang seperti sapuan ombak biasa. Padahal film ini menggunakan teknologi CGI (Computer Generated Imagery) yang tergolong baru bagi perfilman Indonesia. Adegan helikopter, kapal-kapal besar, khusunya Tsunami tampak belum maksimal.

Efeknya masih belum terasa. Visualnya masih kasar. Tapi untuk penggunaan teknologi CGI, film ini layak untuk diapresiasi. Dan alangkah tidak adilnya jika membandingkannya dengan dunia perfilman Holywood dan Bollywood yang sudah sangat jauh meninggalkan perfilman tanah air.

Overall, film ini layak untuk ditonton sebagai pencerahan yang lebih edukatif. Apalagi film ini didukung oleh beberapa pemeran papan atas dunia perfilman Indonesia. Akting Nirina yang keibuaan. Reza Rahadian yang begitu terlihat terpukul dengan semua yang ia hadapi. Tentang apakah film ini mampu menyedot air mata dan memberikan pesan terdalam bagi benak penontonnya. Mungkin lebih kepada bagaimana para penonton menghayati dan memaknai film ini. Setidaknya banding lurus dengan judul film, Hafalan Shalat Delisa. Sudahkah kita shalat dengan hafalan yang ikhlas kepada Allah? Wallahu'alam.*

*Kritik film dari seorang pecinta novel dan film-film Indonesia. Maju terus Indonesia.

1 komentar:

  1. Unknown mengatakan...:

    Film-film Indo saat ini sudah banyak yang diakui di luar negeri. Sory, saya juga terpaksa mengatakan bahwa film ini gagal dan (jika bisa) di buat ulang. kita bisa belajar dari kesuksesan film-film yang sudah-sudah.

Posting Komentar

 
Sang Penandai © 2011 | Designed by Bingo Cash, in collaboration with Modern Warfare 3, VPS Hosting and Compare Web Hosting