Ringkasan Novel: Langit Senja Kota Medan.
Pagi itu adalah pagi yang menyenangkan bagiku. Pagi yang
berbeda. Pagi yang menyisakan harapan
tentang rasa yang belum bisa aku mengerti. Ini tentang dia,
murid baru pindahan di sekolahku. Dia
yang saat memperkenalkan namanya sebagai
Ayunda. Ya, namanya seindah
rupanya. Gadis kecil dengan rambut
dikucir dua. Berkulit kuning langsat. Tanpa lesung pipi. Berpakaian putih dan rok biru tua bersih dan
rapi. Berbeda dengan baju putihku yang kusam, celana biruku yang pudar. Amat menyenangkan
melihat wajahnya. Ramah dengan senyum
sumringah.
Jadilah pagi itu amat berbeda dengan pagi-pagi
sebelumnya. Pagi yang selalu membuatku
mengerti mengapa harapan-harapan itu terus tumbuh. Umurku masih 12 tahun hari
itu. Baru tumbuh remaja dan masih sedikit memahami arti degupan jantung tiap
melihatnya. Degupan jantung yang sering membuat kalang kabut tiap kali ia
menyapa. Padahal siapalah aku. Aku hanyalah pemuda kecil yang pemalu, tertutup
dan tak memiliki banyak teman. Aku jauh dari kata popular dibandingkan dengan
Radit yang tak usah perlu kujelaskan kau sendiri akan mengerti tampang dan
rupanya yang mirip boy band Korea itu.
Ya, bukan sebuah ketabuan lagi jika kami anak-anak yang baru
tumbuh ini mulai sibuk berdandan. Mulai pamer tampang dan kemolekan. Mulai curi-curi
pandang pada orang yang kami suka dan mulai nakal untuk lebih tahu hal banyak
apa yang selama ini tidak kami ketahui, biar kami tidak disebut anak-anak lagi.
Bobi bahkan pernah tertangkap basah membawa majalah dewasa yang berujung pada pemanggilan
orang tuanya. Andre, lelaki jangkung dengan kulit putih itu saban hari harus
kesal dengan isi tasnya yang dipenuhi dengan surat cinta dari adik kelas bahkan
kakak kelas. Rindu, gadis kecil yang pintar itu terlalu sombong untuk menolak
setiap perhatian yang diberikan oleh pengagumnya. Dan aku, aku hanyalah pemuda
kecil, kurus dan tidak tampan sama sekali.
Aku sering tidak bergairah untuk datang ke sekolah sebab
sekolah bukan lagi tempat belajar tapi
jadi arena bergaya dan gengsi. Siapalah
yang mau berteman dengan anak laki-laki
yang terlihat bodoh, kumal dan penjual kue keliling setiap pulang sekolah. Spontan,
aku tidak punya waktu bermain seperti teman-temanku bermain. Aku tidak
punya geng seperti Radit cs. Dan
beberapa kali aku sering jadi bulan-bulana mereka, bilang aku adalah makhluk
aneh yang terdampar di sekolah ini. Sejak kelas satu diminta menjadi ketua kelas agar bisa disuruh-suruh melakukan ini dan
itu. Bahkan diancam untuk tidak besar mulut setiap kali mereka merokok dan cabut.
Ah, aku hanya bisa mengelus dada.
Bukan aku pengecut. Bukan. Aku bisa saja melawan, melaporkan
atau apa saja kelakuan mereka pada guru BP. Tapi apa untungnya bagiku. Ini bukan
seperti film-film yang selalu kalian tonton di mana orang-orang lemah akan
menjadi pahlawan setiap kali ada penindasan.
Bukan, aku hanya tidak mau menambah daftar masalah yang tengah aku hadapi. Sudah cukup semuanya. Aku bahagia dengan
kehidupanku yang selalu dianggap sebelah mata. Menjadi penjual kue keliling
dengan dua orang tua yang juga berjualan. Sedang mereka, mereka adalah
anak-anak dari pimpinan bank di kotaku. Pantas
saja mereka belagu.
0 komentar:
Posting Komentar