Pages

Hello Stranger (Thailand 2010)

Jumat, 30 Desember 2011 2 komentar


Oleh : Sang Penandai

Sebenarnya saya bukanlah seorang maniak film. Apalagi film-film import, toh film-film dalam negeri saja saya banyak yang tidak tahu. Namun di suatu sore yang mendung, teman saya, Cipta, bermain ke markas besar FLP-SU. Seperti biasa, ingin membunuh kejenuhan katanya. Sedang kami sama sekali tidak tahu bagaimana membunuh kejenuhan sore itu. Lantas, iseng saja kami bongkar file-file komputer. Mengobrak-abrik folder penyimpanan film-film yang belum sempat kami tonton. Serentak, mata kami membaca judul film yang sama, Hello Sranger, film import hasil download dari Thailand.

Iseng lagi, kami putar film itu. Menit kemudian, film berdurasi dua jam lebih itu beraksi di layar media player.  Dan sumpah! Inilah film Thailand kedua  yang pernah saya tonton dan mampu membuatku betah duduk selama dua jam depan komputer.

Film hasil besutan sutradara kawakan Thailand, Banjong Pisanthanakun. Sebelumnya beliau adalah sutradara film horror Shutter dan Alone (dua film yang masuk jajaran box office). Ya, dari horror ke Love Comedy, pasti butuh passion yang tak sekedar ingin membuat film saja. Ia sudah dipastikan memiliki taste yang sangat kuat. Dan terbuktilah di film Hello Sranger ini kalian akan terpingkal-pingkal dengan joke-jokenya yang segar.

Hello Sranger sendiri bercerita tentang cowok "aneh" yang dijebak oleh teman-temannya untuk ikut tour perjalanan ke Korea selama 7 hari. Tanpa bekal apapun. Cowok ini (diperankan oleh Ter Chantavit Thanasevi) melenggang di tanah Korea. Berbagai kejadian aneh ia alami. Apalagi masalah bahasa adalah yang menjadi sangat krusial dan membuatnya harus kesasar entah ke mana, makan daging anjing dan ditinggal pergi oleh rombongan tour. Jadilah cowok ini kelabakan bukan main. Ia tak tahu harus ke mana, sampai akhirnya tertidur pulas di depan sebuah motel.

Adalah Noona Neungtida Sophon (penggemar berat drama Korea) yang menemukannya di depan motel. Namun, saat itu belum terjadi apapun antara mereka, hingga pagi tiba. Saat cewek ini  membangunkan si cowok. Sang cowok meminta bantuan sang cewek untuk mengantarkannya ke hotel tempat si cowok menginap. Hanya saja, sang cewek mengantarkannya ke alamat yang salah.

Sang cowok semakin nelangsa. Ia ingin pulang saja ke Thailand secepatnya, tapi mau pulang pakai apa coba? Jadilah ia mengekori cewek itu ke manapun pergi, sampai si cewek mengira bahwa cowok ini adalah mafia yang sengaja mengikutinya. Lalu kekonyolan demi kekonyolan pun terjadi.


Kejadian demi kejadian yang tidak mereka duga sebelumnya, menjadikan  masa liburan itu mereka habiskan bersama. Dan saling bersepakat untuk tidak mengenalkan nama masing-masing. Ya, dalam film ini kau akan menemukan istilah sapaan ala orang-orang Thailand "Kun" jika belum tahu nama masing-masing. Kejadian-kejadian konyol yang mereka hadapi ini dimaknai dengan persahabataban. Namun perlahan, sudah bisa ditebak, cinta timbul di antara mereka dan itu diterjemahkan dengan sangat berbeda. Dan  sebagai penonton kita sudah menduga, ujung -ujungnya pasti saling mencintai. Tapi, apakah cerita ini happy ending? Ikuti terus review saya. Hehehe...

Jika dilihat dari tema dan plot, film besutan sutrdara kawakan ini tidaklah menonjolkan hal-hal baru, bahkan terkesan klise, jika saja sang sutradara tidak mahir memainkan angle-angle yang tepat dan mengeksplor habis-habisan materi cerita dan karakter tokoh secara total. Tapi jangan membayangkan film ini  akan terkesan ringan dan murahan, justru masalahnya tidak sesimple itu.

 Film ini penuh dengan tamparan akan pergesaran budaya anak-anak muda Thailand yang belakangan dilanda demam Korea (hal yang sama juga terjadi di Indonesia). Beberapa sentilan-sentilan ringan, kritik-kriik pedas itu dibungkus dengan nuansa humor yang kental. Sehingga, bagi saya pribadi tertawa akan sangat lebih bermakna. Karena teryata, selama ini gara-gara budaya orang lain, kita justru melupakan budaya kita sendiri sehingga justru membuat kita kehilangan identitas.

Selain itu sindiran dan sentilan ini justru ditonjolkan langsung dengan karakter tokohnya. Si cowok yang sangat tidak suka dengan pop-kultur Korea, pembenci drama Korea. Sedang si tokoh cewek sangat tergila-gila dengan segala hal yang berbau Korea. Uniknya perbedaaan karakter yang saling bertabrakan ini tampak begitu elegan. Chemistry antara kedua tokoh cerita terbangun begitu meyakinkan. Total. Emosi penonton akan terbangun sempurna melihat kekonyolan dua karakter ini.  Banyak adegan-adegan lucu yang memorable.

Namun, namanya juga drama cinta, pasti tidak seru jika tak ada air mata. Dan sutradara, pemeran beserta krunya berhasil mengguncang dada penonton di akhir cerita. Ending yang tidak terduga ini yang membuat kita kesal sampai akhirnya berharap ada sekuelnya (sutradaranya sengaja kali ya :D)

Finally, seperti yang saya katakan tadi, saya bukan pengamat film. Hanya penikmat saja (itu juga film-film tertentu hasil rekomendasi), film ini berhasil menciptakan paket yang lengkap; konyol dan mengharu biru. Kisah cinta yang dibangun juga tidak hanya berkutat pada kedua tokoh saja. Sangat saya rasakan pesan dari film ini sampai kepada penontonnya. Saya berharap, perfilman tanah air belajar lebih keras lagi dari film-film luar. Jangan hanya mengejar kuantitas lalu melupakan kualitas. Meski begitu saya juga tetap apresiasi dengan beberapa  film-film tanah air yang mendapat penghargaan di luar negeri.

Dan lagi, saya masih penasaran siapa nama kedua tokoh dalam cerita ini..

"Nama saya adalah...."

Kita tunggu saja sekuelnya.

Review Novel: Rembulan Tenggelam Di wajah-Mu

Kamis, 29 Desember 2011 2 komentar




Oleh : Sang Penandai


"Aku akan memberikan kau kesempatan hebat. Lima kesempatan untuk bertanya tentang rahasia kehidupan, dan aku akan menjawabnya langsung sekarang. Lima pertanyaan. Lima jawaban. Apakah pertanyaan pertamamu. Apakah itu cinta? Apakah hidup itu adil? Apakah kaya adalah segalanya? Apakah kita memiliki pilihan dalam hidup? Apakah makna kehilangan?"


Lima pertanyaan dan lima jawaban, itulah sekelumit kisah yang akan digulir dalam novel ini. Adalah Rehan, tokoh yang mendominasi cerita dalam novel ini. Masa kecil berselempang duka sebagai anak panti asuhan yang hidup penuh tekanan di sebalik orang-orang dewasa serakah. Rehan kecil adalah sosok pembangkang yang tidak taat pada peraturan panti, namun berhati cerlang dan selalu ada setiap Diar membutuhkannya. Di antara seluruh anak panti memang Diarlah yang selalu perhatian pada Rehan. Bagi Diar, Rehan abangnya sendiri. Begitupun Rehan menganggap Diar. 


Namun, pada pertengahan kisah, kau harus rela menyaksikan Diar sekarat dan akhirnya mati di depan mata Rehan sendiri. Selanjutnya Rehan lari dari panti setelah mencuri barang-barang berharga di panti. Toh, tanpa mencuri pun ia pernah dituduh sebagai pencuri dan merelakan bokongnya dicium oleh pukulan rotan. Namun, kematian Diar amat menyesakkan dadanya.


Lantas, waktu yang mendewasakan Rehan. Ia  tumbuh menjadi remaja di tengah kecamuk kejamnya kehidupan orang dewasa. Ia menjadi penjudi yang sukses sampai akhirnya bangkrut kembali. Ia tumbuh menjadi pribadi yang matang, pertumbuhan fisiknya bahkan melampaui anak-anak seusianya. 


Rehan tetap melalang buana, mencari pemberhentian hidupnya yang entah di mana. Lalu nasib menggulirnya menjadi perampok kelas kakap bersama Plee. Nasib mempertaruhkan hidupnya, Ray, begitu pada akhirnya ia disapa menjalani hidupnya sebagai tukang bangunan. Ternyata di bidang inilah ia memilki bakat yang luar biasa. Tak berbilang waktu lama, akhirnya didaulaut menjadi mandor dan berujung pada nasib yang lebih baik, ia diminta untuk menjadi penangung jawab sebuah proyek. Dan semua itu Ray pelajari melalui pengalamannya. 


Selanjutnya ia menikah dengan seorang perempuan bekas pelacur bernama Fitri. Dan hidup bahagia sampai nasib memisahkan mereka berdua. Di usianya yang senja, Ray jatuh sakit dan koma berbulan-bulan. Jadi ketika membaca novel ini, sesungguhnya kita melihat flashback kehidupan Ray mulai dari kecil sampai usia tua. Penulis novel ini begitu cerdas dalam membangun plot cerita, bahasa yang sederhana dan bernas sekali. Maka tak ayal lima pertanyaan sekaligus jawaban dari hal-hal yang selama ini mungkin sering kau pertanyakan akan terjawab dalam novel ini. Meski tidaklah sempurna, tapi bukankah kata-kata yang bijak akan melapangkan hati dan duniamu?


Novel ini patut untuk dibaca, sebab begitu banyak kearifan yang akan kau tangguk. Kau akan belajar memaknai kehilangan dalam bingkai yang sederhana. Selamat membaca dan menemukan kearifan di dalamnya.

Segera : Ketika Mas Gagah Pergi Dan Kembali

Rabu, 28 Desember 2011 0 komentar

Satu lagi film Indonesia yang segera tayang di bioskop-bioskop kesayangan anda. Sebuah karya hasil adaptasi dari sebuah sebuah cerita pendek karangan Sastrawan besar, Helvy Tiana Rosa, Ketika Mas Gagah Pergi dan Kembali (judul setelah direvisi).
Adalah Gita, tokoh sentral dalam cerita ini. Mempunyai seorang kakak bernama Gagah Perwira Utama. Mas Gagah, begitu sapaan akrab Gita kepada kakak semata wayangnya itu. Di mata Gita, Mas Gagah adalah kakak yang sempurna, angka sepuluh. Sudah cerdas, mandiri, tampan pula. Tak ayal setiap perempuan yang bertemu dan kenal dengan Mas Gagah pasti akan terpikat dengan pesonanya. Semua mereka lakukan bersama; nonton bioskop, jalan-jalan ke mall, makan. Ah, kompak sekali. Sampai Mas Gagah memanggil Gita dengan nama laki-laki;  Gito.

Namun, semuanya berubah drastis sehabis Mas Gagah pulang dari sebuah daerah. Mas Gagah berubah. Ya, berubah. Kakak satu-satunya itu menjadi alim mendadak. Gita berang. Di benaknya Mas Gagah tidak asyik lagi. Obrolan, selera musik, acara akhir pekan, semuanya berubah. Mas Gagah lebih suka berbicara tentang agama. Bahkan kaset-kaset band ternama yang biasa nongkrong di rak kaset kamarnya diganti dengan nasyid dan murattal. Intinya perubahan itu membuat Gita sebal.

Pelan-pelan Mas Gagah mencoba membuat adik semata wayangnya itu mengerti. Tetap saja Gita tak peduli, meski di palung hatinya yang terdalam ia mengakui Mas Gagah makin sholeh. Makin baik pribadinya. Jadilah gemuruh dan konfik batin menghantam jiwa Gita. Konon lagi ketik Mas Gagah memintanya memakai jilbab. Kontan saja ia terkejut. Mau memakai rok saja sudah sebuah prestasi besar dalam hidupnya.

Gita kesepian. Ia kehilangan sosok Mas Gagah. Namun, berkat pencerahan teman sekolahnya yang juga berjilbab, Gita perlahan mengerti. Sampai pada akhirnya bertekad di hari ulang tahunnya nanti ia akan memakai jilbab dan memberikan kejutan untuk kakaknya itu. Namun takdir tak dapat ditilikung oleh rencana-rencana indah. Mas Gagah kecelakaan dalam perjalan pulang. Apa yang akan terjadi selanjutnya?

***

Bagi kawan yang suka membaca fiksi-fiksi islami. Kumpulan cerita pendek Helvy Tiana Rosa adalah pilihan yang tepat. Ketika Mas Gagah Pergi memang merupakan salah satu kisah yang tidak bisa dilupakan. Cerita ini berhasil mengaduk jiwa dan emosi pembaca. Hanya saja, ketika diterjemahkan ke dalam sebuah film nanti, masihkan Mas Gagah memiliki taringnya? Menghipnotis dan memberi pengaruh ke dalam jiwa? Semoga film Ketika Mas Gagah Pergi nanti tidak jauh berbeda dengan filmnya. Sama-sama memilki ruh. SEMOGA.

Review Film : Hafalan Shalat Delisa

1 komentar

Tsunami Aceh tahun 2004 lalu masih menyisakan luka yang mendalam. Tidak hanya bagi korban bencana, namun siapapun yang melihat dan mendengar berita itu, sudah dipastikan remuk redam yang terkubur dalam palung jiwa akan menyeruak kembali. Sebab inilah bencana alam terbesar di tahun 2004 yang menelan beribu korban di negeri serambi Mekah ini.

Setelah 7 tahun berlalu, kisah pilu ini kemudian berani diangkat ke layar lebar oleh seorang sutradara Indonesia,Sony Gaokasak, dan inilah film pertama Indonesia yang mengangkat tema bencana Tsunami.

Film ini sebenarnya berangkat dari sebuah novel bestseller karya Tere Liye, berkisah tentang seorang gadis kecil bernama Delisa yang harus kehilangan umminya (diperankan oleh Nirina Zubir) dan ketiga saudara kandungnya, Fatimah, Aisya dan Zahra (dua saudara kembar) pasca Tsunami.

Gempa yang disusul tsunami itu terjadi pada pagi hari saat Delisa akan mengikuti ujian hafalan shalat. Dengan penuh konsentrasi Delisa menghafal bacaan shalatnya. Ia teringat pesan sang ustaz, jika seseorang khusyuk dalam sholatnya maka apapun yang menimpanya tidak ia rasakan. Dan inilah yang dilakukan Delisa, saat seluruh orang-orang panik menyelamatkan diri dari gempa dan Tsunami, gadis kecil itu bergeming dengan hafalan shalatnya.

Takdir berbicara lebih lanjut. Delisa selamat dan mendapatkan perawatan intensif di rumah sakit. Hanya saja, gadis kecil malang ini harus rela kehilangan kaki kanannya. Ia tinggal dengan Abi Usman (diperankan oleh Reza Rahadian) di tengah porak-poranda pasca bencana. Meski kehilangan sebelah kaki, Delisa tetap hidup dengan jiwa optimis, ceria dan menginspirasi buat orang-orang di sekitarnya. Konon lagi, ia mendapat dua teman baru relawan dari luar negeri, Suster Sophie dan Kapten Smith.

Secara keseluruhan, film ini berhasil menumpahkan seluruh isi novel ke dalam film. Hanya saja nasib yang sama kembali terulang pada film ini. Ya, sama seperti film-film pendahulunya yang juga diadaptasi dari novel. Film ini kehilangan ruhnya. Film ini kering dan tidak menimbulkan efek kejiwaan yang kuat bagi penonton.

Sebagai sebuah film yang ditujukan untuk menguras air mata. Materi Hafalan Shalat Delisa  sebenarnya sudah sangat kuat. Kuat sekali malah. Hanya saja, kekuatan itu menjadi begitu tidak fokus saat melihat para karakter ceritanya menjadi tampak begitu kebingungan, khususnya pada penggunaan dialog-dialog yang kaku. Aksen Aceh yang tidak terasa membuat kisah ini seolah bukan terjadi di Aceh. Satu-satunya yang mendukung dan meyakinkan para penonton bahwa kisah ini di Aceh adalah setting dan soundtracknya.

Sebenarnya akting Chantiq Schagerl (pemeran Delisa) sudah sangat meyakinkan dengan beragam kepolosan yang ia lakoni. Hanya saja (sebab tuntutan sutradara) akting yang seharusnya natural itu seperti dipaksakan. Delisa disulap menjadi bijak, tapi kebijakan itu terasa sekali tidak lahir dari dalam jiwanya. Kosong. Perannya tidak sampai menyentuh penonton. Begitupan dengan sang ustaz (diperankan oleh Fathir Muckhtar),peran ustaz yang ia lakoni tidak meyakinkan.  Intinya, Sony Gaokasak, kurang mampu menggali emosi karakter tokoh film ini agar sampai ke jiwa penonton.

Rekonstruksi ulang tentang kejadian gempa dan Tsunami dalam film ini (maaf saya terpaksa mengatakannya) terbilang gagal. Gempa yang divisualkan tidak begitu melahirkan rasa gemuruh dan takut di jiwa penonton. Atmosfer itu tidak bisa dirasakan. Gempa yang tidak meyakinkan. Bagaimana bisa saat gempa terjadi tapi daun pintu tidak bergoyang. Meja-meja di dalam kelas tidak bergeser? Lalu disusul visual Tsunami yang seperti sapuan ombak biasa. Padahal film ini menggunakan teknologi CGI (Computer Generated Imagery) yang tergolong baru bagi perfilman Indonesia. Adegan helikopter, kapal-kapal besar, khusunya Tsunami tampak belum maksimal.

Efeknya masih belum terasa. Visualnya masih kasar. Tapi untuk penggunaan teknologi CGI, film ini layak untuk diapresiasi. Dan alangkah tidak adilnya jika membandingkannya dengan dunia perfilman Holywood dan Bollywood yang sudah sangat jauh meninggalkan perfilman tanah air.

Overall, film ini layak untuk ditonton sebagai pencerahan yang lebih edukatif. Apalagi film ini didukung oleh beberapa pemeran papan atas dunia perfilman Indonesia. Akting Nirina yang keibuaan. Reza Rahadian yang begitu terlihat terpukul dengan semua yang ia hadapi. Tentang apakah film ini mampu menyedot air mata dan memberikan pesan terdalam bagi benak penontonnya. Mungkin lebih kepada bagaimana para penonton menghayati dan memaknai film ini. Setidaknya banding lurus dengan judul film, Hafalan Shalat Delisa. Sudahkah kita shalat dengan hafalan yang ikhlas kepada Allah? Wallahu'alam.*

*Kritik film dari seorang pecinta novel dan film-film Indonesia. Maju terus Indonesia.

Madre di Tangan Dee.

1 komentar

"Apa rasanya jika sejarah kita berubah dalam sehari?
Darah saya mendadak seperempatTionghoa,
Nenek saya seorang penjual roti, dan dia,
Bersama kakek yang tidak saya kenal,
Mewariskan anggota keluarga baru yang tidak pernah saya tahu: Madre."



Adalah Tansen, seorang pemuda dewasa yang biasa hidup dengan kebebasan. Dalam sekejab hidupnya berubah drastis  penuh keterikatan. Berawal dari sebuah kematian, Saat pria berkulit gelap, rambut gimbal,kaus tanpa lengan dan jins sobek-sobek itu berada di TPU etnis Tionghoa. Tentu saja ini pemandangan kontras. Tan Sin Gie, jenazah yang telah hidup selama 93 tahun itulah yang menjembatani takdirnya di tempat itu dan memilihnya sebagai ahli waris keluarga Tan. Adalah Pak Hadi yang ia temui dan menolongnya keluar dari kubangan kebingungan yang melumpuri jiwanya. Pria paruh baya yang menjelaskan siapa ia sebenarnya dan  memperkenalkannya pada Madre, anggota keluarga baru yang tidak pernah ia tahu. Dan betapa terkejutnya Tansen saat mengetahui bahwa Madre hanyalah sebuah adonan biang untuk membuat roti. Sedang ia sendri, apa yang ia ketahui tentang roti?

Tansen bersikeras tetap ingin kembali pada dunianya yang bebas. Tak ia gubris rasa kecewa yang selalu memenjara wajah Pak Hadi, namun bukan Pak Hadi jika tidak bisa menaklukkan hati Tansen. Perlahan Pak Hadi mencoba meyakinkannya bahwa Madre telah memilihnya untuk menjadi seorang koki roti. Dan Tansen tetap jengah dengan kerasnya hati pria tua itu dalam meyakinkannya. 

Hidup dengan monoton dan ritme yang itu-itu saja, terang saja membuat Tansen kelimpungan. Selam di Jakarta, ia tidak tahu harus berbuat apa. Kebosanan ia tikam dengan menuliskan pengalaman-pengalaman serunya dalam sebuah blog. 

"Apa rasanya jika sejarah kita berubah dalam sehari?
Darah saya mendadak seperempatTionghoa,
Nenek saya seorang penjual roti, dan dia,
Bersama kakek yang tidak saya kenal,
Mewariskan anggota keluarga baru yang tidak pernah saya tahu: Madre."

Blog ini kemudian dibaca oleh seorang gadis cantik bernama Mei. Ia begitu tertarik dengan Madre. Setelah komunikasi antara Mei dan Tansen terjalin. Baru Tansen tahu jika ternyata pembaca setia blognya itu adalah seorang pengusaha roti terbesar di Jakarta. Sampai suatu hari,Mei memberikan penawaran dilematis kepada Tansen. Ia ingin membeli Madre seharga seratus juta rupiah. Tansen tergiur. Ia ceritakan pada Pak Hadi. Lelaki tua itu tampak begitu sedih dan kecewa. Jika Madre dijual, maka habislah sejarah sebuah roti tua. Sebagai anak muda, Tansen mengerti benar gemuruh gelisah di wajah Pak Hadi. Ia pun mengurungkan niatnya untuk menjual Madre. Mei tidak kecewa, justru ia menawarkan proyek kerja sama yang lain; mengorder roti kepada Tansen. Lantas...

***
Ah, rasanya tidak adil jika aku menceritakan keseluruhan salah satu cerita dalam buku ini. Ya, buku ini berisi 13 karya fiksi dan prosa pendek. Ditulis oleh seorang perempuan yang namanya cukup tersohor di negeri ini.  Siapa yang tidak kenal dengan Dewi Lestari atau Dee. Seorang penulis muda perempuan yang karya-karya selalu menarik perhatian. Dee, selalu sederhana dengan gaya bertuturnya. Kita tak perlu mengeryitkan dahi ketika menekuni kata-kata yang ia torehkan. Meski tergolong populer, tapi karya-karya Dee memiliki muatan filosofi yang meninggalkan kesan di hati pembacanya. Ia tidak sembarang menulis. Ia menulis dengan keyakinan yang mendalam. Finally, jika anda ingin merasakan pesona Dee, maka Madre adalah sebuah pilihan yang tepat untuk merenungi pelbagai hal yang sering kita lupakan. Selamat membaca!

Menanti Kejutan Film Negeri 5 Menara

0 komentar


Negeri 5 Menara, inilah film pembuka tahun yang akan menemukan takdirnya: BOX OFFICE 2012. Sebuah film yang diadaptasi dari judul novel yang sama,ditulis oleh seorang santri Gontor, Ponorogo, Ahmada Fuadi. Novel yang mengisahkan tentang perjuangan enam orang anak dari berbagai daerah di Indonesia untuk mencapai obesesi darah muda yang memuncak. Lantas keenamnya dipertemukan dalam sebuah lembaga pendidikan bernama Pesantren Madani.

Adalah Alif Fikri, yang didaulat menjadi tokoh utama dalam cerita ini. Berbekal mimpi dan segudang obsesi menjadi penerus Habibie. Selepas tamat tsanawiyah, ia menginginkan masuk sekolah umum. Namun, keinginan itu kandas, ketika amak memintanya untuk melanjutkan sekolah di aliyah. Alif nelangsa dan merasakan cita-citanya di ujung mata telah buram bahkan tak tersentuh. Awalnya ia tetap bersikeras. Dan amak, perempuan yang amat dicintainya itu ternyata lebih keras lagi. Sampai suatu hari, ia menerima surat dari Etek Gindo, pamannya. Akhirnya, berbekal keputusan setengah hati, ia menuruti kemauan amak asalkan ia belajar di pondok pesantren. 

Jadilah ia masuk ke Pondok Madani dengan diantar ayahnya. Meski gelisah begitu menghimpit dadanya. Namun, beginilah jalan hidup yang diajarkan orangtua Alif, sekali maju pantang surut ke belakang. Alif mengikuti ujian dengan hati yang dikuat-kuatkan. Ia lulus dan sah diterima menjadi santri di pondok. Keputusan setengah hati yang membawa berkah. Berbekal mantra MAN JADDA WAJADA, ia menantang kehidupan dengan perkasa. Dan, pertanyaan selanjutnya adalah apakah film dari novel ini akan memiliki ruh yang sama seperti novelnya?

Tak dinyana, banyak penonton kecewa dengan hasil adaptasi novel ke dalam film. Sebut saja dua novel fenomenal; Ayat-Ayat Cinta dan Laskar Pelangi. Meski menyedot jutaan penonton, tapi banyak penonton yang kecewa sebab ruh dari novel tersebut tidak terasa dalam filmnya. Nasib yang sama juga dialami oleh Hafalan  Sholat Delisa, sebagai penikmat karya TereLiye, saya pribadi sangat kecewa dengan film adaptasi ini. Masalah klasik yang samapun terjadi: ruh dari novel itu tidak terasa dalam film. Karakter-karakter yang terlalu memaksa. Rekonstruksi Tsunami yang terlalu dangkal. 

Ah, semoga saja nasib film Negeri 5 Menara tidak mengalami nasib yang sama. Kita tunggu saja. :D 

Pahlawan Itu Bernama Ibu

Selasa, 27 Desember 2011 0 komentar

Rabu Pagi.

Pagi tadi bakda subuh aku menghidupkan TV. Memencet tombol remote sesukaku, mencari acara pagi yang mencerdaskan otak. Ah, jika menonton berita di Indonesia isianya itu-itu saja. Bosan juga. Terus aku cari siaran luar negeri. Tentu saja bahasa pengantarnya dengan Bahasa Inggris. Karena aku anak Bahasa Inggris, maka tak salahlah jika menguji listeningku.

Berita tersaji, kali ini mengangkat topik dengan percobaan pembunuhan (baru aku tahu ternyata seluruh berita dunia  selalu mengangkat  topik yang sama). Percobaan pembunuhan oleh seorang ayah kepada anaknya. Alasannya sebab anak tersebut lahir dengan wajah yang tak lazim. Sang ayah merasa malu memiliki anak dengan wajah yang menyeramkan. Menurut pengakuan istirnya, bahkan sang suami sempat bertanya prihal kepastian anak tersebut.

Seluruh keluarga malu tak kepalang. Orang-orang sibuk mempertanyakan. Anak aneh dengan wajah menyeramkan itu dikucilkan, terutama oleh kelaurga besar. Untunglah sang ibu dengan kesabaran luar biasa mempertahankan anak tersebut sampai usia balita. Anak ini pernah akan dibunuh oleh ayahnya sendiri, saat  sang ibu tidak ada di rumah. Ketika aksi pembunuhan itu akan terjadi, seorang tetangga menangkap basah dan melaporkan pada sang ibu. Sang ibupun mengejar.  Usaha pembunuhan itupun gagal. Mereka diusir dari rumah. Sang ibu membesarkan anaknya seorang diri.
"Saya tidak mau bercerai dengan suami saya sebab saya tidak ingin anak saya kehilangan ayahnya." begitulah ujar sang ibu.

***
Aku menarik napasku menyaksikan berita itu. Mendengus begitu kesal. Sekaligus terharu luar biasa dengan pengorbanan ibu anak tersebut. Ini bukan berita baru, cerita lama tentang kebesaran jiwa seorang ibu. Benarlah memang, demi anak, seorang ibu rela mengendong tabung gas dan meloncat pada kubangan api. Ibu, cerita usang yang tak pernah lekang oleh waktu. Meski tak ayal, banyak juga memang ibu-ibu yang membunuh anak-anak mereka. Tapi kisah seperti itu jauh lebih sedikit dengan perjuangan seorang ibu kepada anaknya.

Bicara tentang ibu, sosok tersebut tak akan pernah lepas dari sosok kepahlawanan. Siapapun mereka; ketika ditanya siapa pahlawannya. Pasti jawabannya adalah ibu. Ya, ibu. Itulah mengapa, ketika salah seorang sahabat bertanya pada baginda Nabi, tentang siapa yang harus kita hormati di dunia ini. Nabi menjawab, Ibumu, Ibumu, Ibumu. Luar biasa sekali memang seorang ibu. Mereka adalah pendidik pertama anak-anak di zamannya. Mereka adalah tonggak sejarah lahirnya manusia-manusia unggul. Bahkan dunia dan isinya tak akan mampu menebus setetes air susu yang mengalir dalam diri kita. Semoga akan terus lahir generasi-generasi terbaik dari rahim wanita-wanita mulia. Bahkan dari rahim pelacur sekalipun, anak yang terlahir pasti dalam keadaan suci. Selamat menjadi Ibu. Bagi para suami atau ayah, selamat menjadi ibu yang mengayah.


Hantu Perempuan Di Kamar Itu

1 komentar

Sudah tiga hari aku di rumah ini. Rumah besar yang memiliki banyak kamar tapi hanya dihuni oleh dua orang saja; aku dan salah seorang wanita paro baya yang biasa membantu bersih-bersih rumah ini. Rumah yang selalu ditutup dan tampak sepi. Rumah yang dikelilingi pagar-pagar tinggi dari besi. Ah, rumah-rumah di sini memang mirip kandang. Kandang apa? Kau bisa menebak sendiri.
"Di sini lumayan banyak maling."
Aku tersenyum kecut.
 Tiga hari ini pula aku merasakan dijamu seumpama raja, macam anak majikan saja. Semua kebutuhanku dipenuhi. Meski aku sudah bilang pada Wak Tety (begitu aku menyapanya) agar aku tidak usah diperlakukan secara berlebihan.

Bukan apa-apa, aku sudah biasa melakukan segala keperluanku sendirian. Jadi tak ada yang berubah sama sekali selama tiga hari ini dalam hidupku kecuali  semua ini kurasakan seperti lakon sinetron saja.

Mungkin kau binggung, sebenarnya aku sedang bercerita apa. Baiklah, aku akan mulai dari awal saja cerita ini. Suatu sore di hari senin. Seorang temanku mengirim sebuah pesan singkat. SMS minta bantuan. Dia bilang dalam pesan singkatnya, dosennya ingin pergi ke Bandung selama dua minggu. Tak ada yang tinggal di rumahnya. Jadi aku dimintanya untuk tinggal di rumah selama dua minggu. Awalnya aku tidak menggubris tawaran ini. Ah, paling-paling nanti ada yang lebih siap menawarkan diri, pikirku. Tapi, keesokan harinya, temanku itu meminta kepastian dariku. Maka, setelah berpikir cukup panjang aku menyetujui. Meski ada gelisah, sebab bukan perkara mudah menjaga amanah orang. Apalagi menjaga rumah. Taruhannya adalah nyawa. Tahu sendirilah, maling-maling hari ini tak segan-segan untuk menghabisi siapapun yang menghadangnya. Dan aku hanya berserah diri pada Allah saja.

Malam Sabtu, jam sepuluh aku menemui penghuni rumah itu. Ternyata beliau adalah seorang bapak yang begitu baik dan lembut. Keturunan Arab. Ia tak banyak menanyaiku, malah menjelaskan panjang lebar tentag seabrek kegiatanku sehari-hari. Ia bilang tidak usah segan-segan di rumah ini. Semua fasilitas bisa aku gunakan. Ditambah lagi, beratus buku berjejar di tiga lemarinya. Dan aku dibebaskan untuk membaca sepuas-puasnya.

Jadilah malam minggu itu adalah malam pertamaku menghuni rumah ini, setelah pagi sampai sore aku disibukkan dengan lokakarya di Hotel Arya Duta. Badanku penat. Pula pikiranku. Aku mandi untuk merilekskan syaraf-syaraf di tubuhku. Dan pengalaman "gila" pertama mulai aku alami. Kamar mandi di rumah ini berada dalam tiap kamar. Dan setiap kamar mandi disediakan sebuah shower. Aku mandi dengan shower yang mengucurkan air dingin ke seluruh tubuhku. Pelan. Sampai aku merasakan tubuhku perlahan kembali segar. Syaraf-syaraf mulai lentur. Namun, tiba-tiba lampu kamar mandi redup sampai akhirnya mati. Shower yang mengucurkan air itu tiba-tiba berhenti. Aku mengira mati lampu. Seperti adegan-adegan film horor, lampu itu hidup-mati. Tubuhku masih berlumur busa sabun. Pun Wajahku. Shower itu bergerak sendiri, aku mencoba untuk mengendalikannya. Tapi pegangan shower itu tidak terkendali. Aku hempas. Lalu tiba-tiba semuanya kembali normal. Lampu menyala sempurna. Shower masih mengalirkan air yang jernih.  Tapi bulu kudukku semakin berdiri. Aku merinding, mengedarkan pandanganku dan segera menyelesaikan aktivitas bersih-bersih ini secepatnya. Jantungku berdegup tidak teratur. Tiba-tiba aku merasakan kehadiran sosok lain di tempat ini sedang mengintaiku. Aku segera melilitkan handuk, memakai baju dengan tergesa dan keluar dari kamar itu.

Kejadian seperti ini sudah lumayan sering aku alami. Konon lagi aku selalu tinggal sendiri, di rumah baruku (yang kuhuni selama hampir setahun) akupun tinggal sendiri. Kupikir, biasalah ini terjadi, mereka hanya ingin berkenal saja denganku. Bukan bermaksud untuk menakut-nakuti. Dan aku juga tak pernah ingin mengusik kebaradaan mereka. Bukankah kita sama-sama hamba Allah yang memang hidup berdampingan?

Forum Lingkar Pena Sumut

Senin, 26 Desember 2011 0 komentar




NO EXCUSE

1 komentar

Life is Great!


Ketika kecil dulu aku sering bertanya-tanya dalam hatiku, jika Tuhan maha adil, mengapa ada kaya dan miskin? Mengapa ada orang yang bekerja membanting tulang tapi tetap miskin? Mengapa ada orang kaya yang hidupnya berantakan? Mengapa demi mengapa lainnya berkejaran di pikiranku. Aku mencari-cari letak keadilan Tuhan itu. Namun, saat itu aku tak menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku itu.

Beruntunglah, aku dibesarkan dengan kedua orangtua, yang meskipun mereka tak lulusan sekolah tinggi. Tapi mamak mendidikku dengan cara yang elegan, meski ia tak pernah memaksaku membaca buku, meski di rumah kami juga tak ada banyak buku. Tapi, mamak selalu meluangkan waktunya untuk bercerita kepadaku. Aku paling suka mendengar cerita-cerita mamak. Bagiku cerita-cerita itu lebih indah dari cerita dongeng manapun. Mamak memang tidak pernah menceritakan dongeng-dongeng, beliau hanya menceritakan kenangan-kenangan masa kecil, remaja, bahkan cerita ketika bertemu dengan ayahku pertama kali. :D

Ayah, lelaki dengan wajah kukuh ini selalu membawa buku-buku tebal yang entah ia dapat darimana. Buku-buku itu sengaja digeletak di sembarang tempat (meja makan rumah kami), belakangan aku baru mengerti mengapa ayah selalu menaruh buku di meja makan. Ternyata ia ingin aku meliat buku seperti melihat makanan. Ada-ada saja ayahku itu.

Dan, beruntung memang, meski belum bisa dikatakan sebagai penggila buku, tapi aku terus memaksa diriku untuk membaca setiap hari. Sampai akhirnya aku menemukan sebuah buku, MANAGE YOUR MIND FOR SUCCESS, dari buku ini aku menemukan jawaban dari pertanyaan masa kecilku itu. Ternyata bukan Tuhan yang tidak adil, tetapi dalam diri manusia itulah telah tertimbun sebuah mindset yang salah, mitos-mitos yang menjadi rujukan hidup.

Terbukti, aku sering mendengar melalui peuturan kawan-kawanku sendiri, bahwa kesuksesan dan kemiskianan disebabkan oleh mitos-mitos yang mereka yakini sendiri. Bahkan sebelum membaca buku itu, baru aku menyadari ternyata mindsetku juga tak begitu jauh dari pola pikir yang menyesatkan dan memenjarakan mental itu.

Ungkapan seperti,saya ingin sukses, tapi... Nah, setiap orang ingin sukses, hanya saja kata "TAPI" itulah yang mengukung keberhasilan kita.
Mitos-mitos "tapi" itu adalah:
1. Keturunan
2. Pendidikan
3. Hoki
4. Nasib
5. Zodiak
6. Jenis Kelamin
7. Sukses hanya untuk orang tertentu
8. Hari lahir
9. Usia
10. Tidak punya modal
11. Kesehatan.

Mitos-mitos inilah yang mengukung keberhasilan kita. Maka, mengambil istilah suami Asma Nadia,  NO EXCUSE.

Pada Angin Aku Meluruhkan Rasa

3 komentar

Sudah sore benar saat aku harus menggegas langkah dengan berlari-lari kecil menuju beranda laboratorium bahasa. Ya. Lab. Bahasa adalah dimensi ruang yang memersatukan jiwa kita saat gerimis menjebak langkah. Engkau mungkin lupa, bagaimana aku pura-pura mengibas kencang sisa air yang tertinggal di bahuku. Sengaja aku percikan ke wajahmu agar engkau menoleh melihatku. Namun, usahaku sia-sia.

Engkau telah lupa tentang pertanyaanmu, mengapa aku suka gerimis. Aku hanya tersenyum satire. Getir. Sebab, meski kuulang sejuta kalipun, tetap saja engkau lupa. Sebab katamu, aku tak penting.

Tak penting adalah kamus andalanmu untuk membuatku mati kutu. Ya. Aku memang selalu tak penting dalam hidupmu. Siapa aku? Lalu, ketika aku mencoba tak lagi memedulikanmu, engkau bilang aku sombong dan akhirnya kita malah memutuskan komunikasi setahun.

Mulanya dari mana aku juga lupa, tapi aku masih ingat, bagaimana kelas mendadak hingar binggar, riuh rendah suara saat engkau menjambangi kelasku. Begitu pula sebaliknya. Kita begitu tersohor di hati teman-teman seangkatan. Seolah kita selebritis yang saban hari digosipkan sedang berpacaran. Pacaran? Oh, tentu saja tidak. Tidak mungkin.

Lalu, apakah engkau lupa pernah menantangku menulis? Engkau dengan ponggahnya menyeringai sambil berujar sinis, kalau kau penulis, buktikan karyamu di media? Oh, engkau sungguh menantangku. Padahal sudah setahun lebih kita tak bertukar sapa. Sekadar ingin menimbun dalam-dalam isu yang menimpa; kalau kita pacaran. Tapi hari itu engkau menantangku?

"Sungguh, aku malu dengan teman-teman di organisasiku. Mereka mengira kita pacaran?"
Kata-katamu waktu itu engkau ucapkan seelegan mungkin, namun menguliti dinding hatiku. Engkau mengucapkannya dengan kebencian. Ya. Engkau sangat membenciku. Tapi mengapa aku tidak bisa membencimu?

Lalu adakah yang tersisa kini. Ketika jarak kita semakin membentang begitu jauh. Jauh sekali, sampai aku tak pernah lagi bertemu denganmu. Sampai mungkin suatu hari nanti surat undanganmu mampir ke pangkuanku dan aku mengharapkan bukan namamu yang tertera di sana. Tapi sayang, ternyata saat itu aku hanya bermimpi. Sebab kenyataanya sampai hari inipun aku tak mendapati surat undangan. Nomor HPmu bahkan tak bisa dihubungi. Tapi aku yakin, daun yang jatuh tak akan membenci angin, maka padanya,aku sampaikan segala gelisah rindu. Aku tak peduli orang-orang akan memandang apa tentangku, namun, dari pada aku menyesal seumur hidup, pada angin, aku ingin menyampaikan sebuah rasa yang telah lama aku pendam sedalam-dalamnya. Aku...Ah, tetap juga masih malu mengungkapkannya.*

*Untukmu.

Histeria Hafalan Sholat Delisa

Minggu, 25 Desember 2011 2 komentar

Kamis, pukul 17.00 Wib.

Pagi-pagi sekali aku mengirim pesan pada seorang teman. Sekadar menanyakan kepastian nonton bersama film Hafalan Sholat Delisa. Temanku itu malah bertanya balik, maka, untuk memastikan, aku mengirim pesan ke banyak kepada semua teman-teman di komunitas Forum Lingkar Pena Sumut. Hasilnya, hanya delapan orang yang ikut.
Cip, pesan tiket 8, ya? 
Klik
tak lama
oke, Sip, Bang.

***
Pagi itu, seperti biasa, usai membereskan rumah dan bersih-bersih badan. Aku menggegas langkah menuju rumah temanku. Hari ini adalah hari yang penting, banyak yang ingin aku sampaikan padanya terkait rencana kami untuk mengundang Salim A. Fillah ke Medan. Dalam waktu lima belas menit aku sampai di rumahnya, tanpa menunda percakapan, aku langsung saja meminta kepastian tentang langkah ke depan. Dan perbincangan selanjutnya berubah menjadi hal tak serius; tentang nikahlah, ingin punya istri cantiklah, punya dua anak dan bla..bla..bla. Hah, ternyata di mana-mana sama saja, setiap teman yang aku temui sibuk membuka topik cerita tentang nikah; kapan nikah? Dan itulah pertanyaan yang paling sering kuterima.

Usai zuhur aku beranjak dari rumahnya. Sebelumnya aku sempat bercerita tentang rencana kami nonton Bersama  film Hafalan Sholat Delisa. Eh, ternyata dia tertarik, maka aku sms lagi Cipta, bilang pesan tiket satu lagi.

Jadilah hari itu aku sibuk mengirimi SMS kepada teman-teman yang ikut. Hanya ingin memastikan  agar mereka tidak telat. Tepat pukul lima, aku bersiap-siap. Sambil menanti seorang teman yang ingin berangkat aku membaca buku Sang Penandai. Setengah jam terlewati, temanku itu belum datang juga. Aku gelisah. Aku kirim pesan. Tak dibalas. Aku telpon. Tak diangkat alias melbox. Lalu, kutulis memo di kertas HVS besar-besar.
ANTUM LANGSUNG SAJA MENUJU TKP.
Kutempel di depan pintu.

Pukul enam sore aku sampai. Dengan langkah yang tegap sambil memandang poster film itu di plataran Mall. Aha, ini pasti film paling seru di akhir tahun. Aku begitu bersemangat. Tak lupa mengirim pesan peringatan kepada semua teman-temanku.

Bang, di mana, Uci sudah di TKP. SMS dari seorang adik juniorku di FLP
Abg sdh di depan bioaskop. klik.

Aku celingak-celinguk mencari anak-anak yang lain. Percuma. Sebab, belum satu orangpun yang tampak batang hidungnya.  Tapi, tak lama Jaka datang dengan gayanya yang sok cool itu. 
"Tiket gimana, Bang?" katanya
Aku tergeragap. 
"O, belum dibeli ya? Ya sudah kita beli saja tiket untuk depalan orang itu." Aku langsung ngeloyor ke antrian 

Tak lama kemudian.

"Tiket beres. " kataku bangga.
"Wait a minute." tiba-tiba wajah Jaka tampak gelisah.
"Coba SMS Cipta. Takutnya dia juga beli tiket." 
Aku termanggu sebentar. Benar juga, pikirku
Lantas aku menelponya, 
"Cip, tiket sudah kau beli?"
"Sudah, Bang."
Apa? Seketika aku merasa gedung mall itu roboh. Mati aku!
"Seriuslah!" kataku menekan agar dia tidak bercanda.
"Iya." katanya tak kalah serius dan aku memang tidak mendapati nada kebohongan sedikitpun. 
Aku lemas. Pasrah dan siap menganti uang sebesar 120ribu.

Wait...otakku sibuk berpikir. Aku belum kalah.

"Jak, tolong bantu abang menjual tiket ini." kataku memaksa. Jaka kebingungan.
Maka, sore itu aku menjadi calo dadakan. Dengan memasang wajah memelas dan semanis mungkin, aku mendekati bahkan menghadang sepasang, seorang, setiga yang menghampiri bioskop. Raut mereka tampak begitu terkejut ketika aku dan kedua temanku yang membantu mendekat. Semacam ada kecurigaan jika kami adalah penipu. Tapi, (mungkin) wajah kami yang memelas ini menimbulkan energi ketaksampai hatian di hati mereka. Maka, dalam waktu 10 menit tiket itu habis terjual. Dan aku seperti orang kesurupan. Aku tidak menikmati lagi film yang aku tonton, sepanjang malam itu aku tak habis mengerti, mengapa bisa aku segila itu? Benarlah, kita harus mengeluarkan kegilaan-kegilaan kita untuk meraih sesuatu. Maka, selamat menjadi orang gila.

 
Sang Penandai © 2011 | Designed by Bingo Cash, in collaboration with Modern Warfare 3, VPS Hosting and Compare Web Hosting