Pages

Catatan Si Ragha

Senin, 26 Maret 2012 0 komentar

Pagi mendung. Langit sewarna abu rokok.  Dari balik jendela, aku melihat luka di mata seorang lelaki paruh baya. Ah, luka yang menganga. Tentang geringya hidup yang terhunus dalam tiap titian pahat yang ia torehkan. Ah, laki-laki beraroma tembakau itu, lagi-lagi memandang sambil menengadah langit.

Ini terang bukan salahnya memang jika anak-anaknya juga mengalami nasib yang kembar; hidup dalam kepungan kemiskinan yang merayap dan menyelubung. Lihatlah, bagaimana menantunya harus disergap dari dalam rumah ketika ketangkap basah sedang menyabu. Anak perempuannya meraung-raung di tengah gelap yang menyungkup. Oi, itu baru awal; kini bergulir sebuah kisah yang menghentak batin di penghujung senja. Ketika ia mendapati anak-anaknya yang lain sedang terkulai dengan mulut berbusa. Pedih, perih nian luka itu.

Seharusnya jika sudah setua ini, ia konsentrasi seperti orang tua-orang tua lainnya; rajin sembahyang ke masjid atau musholla, mengaji, wirid atau sekadar ikut hajatan dan kenduri. Ha, siapa yang tidak tergering hatinya melihat lelaki dengan tubuh ringkih sedikit bungkuk itu harus menjadi seorang penjaga malam.

Begitulah, meski hidup pedih, katanya. Tapi ia seluit sabit tetap merekah di sana. Bertengger dengan dada membuncah bagi yang melihatnya. Iyalah, kakek berhati cerlang itu tiada pernah berkira untuk membantu tetangganya. Pun rumah reot yang papan-papannya lapuk digeranyangi rayap tetap diduduki oleh tiga anaknya yang sudah menikah. Ah, potret buram.

Kalian tahu di mana mereka tinggal?

Jika misalkan kalia singgah ke Medan, terus ingin jalan-jalan ke Palladium atau menginapa semalam dua malam di Arya Duta atau Hotel Santika, sesekali cobalah untuk mencari tahu apa di balik bangunan megah ini. Ya, kalian akan terkejut, terkejut sangat. Sebab di sana, akan kalian temui sebuah perkampungan kecil sederhana dan terbelakang. Mengapa aku menyebutnya terbelakang. Ah, kukira jika kalian mau mencari tahunya sendiri kalian akan sepakat denganku.

Sudah tabiat kota besar; di balik kemegahan yang ditampilkan, ada kekumuhan yang disembunyikan. Dan kami, para mujahid pena, hidup dan berbaur dengan mereka; merasakan pedih itu, saling membahu dan bekerja sama. Inilah uniknya orang-orang kecil; masih membudaya dalam perangai mereka semangat bahu membahu, peduli memeduli.

Lantas, acap kali orang-orang yang dianggap kecil ini pulalah yang menginspirasi orang banyak untuk berbuat hal yang lebih besar. Seperti sang kakek, meski hidup digelung nestapa, namun senyum terus membara.

----Ragha Putra yang sedang belajar menulis----

 
Sang Penandai © 2011 | Designed by Bingo Cash, in collaboration with Modern Warfare 3, VPS Hosting and Compare Web Hosting