Pagi mendung. Langit sewarna abu rokok. Dari balik jendela, aku melihat luka di mata seorang lelaki paruh baya. Ah, luka yang menganga. Tentang geringya hidup yang terhunus dalam tiap titian pahat yang ia torehkan. Ah, laki-laki beraroma tembakau itu, lagi-lagi memandang sambil menengadah langit.
Ini terang bukan salahnya memang jika anak-anaknya juga mengalami nasib yang kembar; hidup dalam kepungan kemiskinan yang merayap dan menyelubung. Lihatlah, bagaimana menantunya harus disergap dari dalam rumah ketika ketangkap basah sedang menyabu. Anak perempuannya meraung-raung di tengah gelap yang menyungkup. Oi, itu baru awal; kini bergulir sebuah kisah yang menghentak batin di penghujung senja. Ketika ia mendapati anak-anaknya yang lain sedang terkulai dengan mulut berbusa. Pedih, perih nian luka itu.
Seharusnya jika sudah setua ini, ia konsentrasi seperti orang tua-orang tua lainnya; rajin sembahyang ke masjid atau musholla, mengaji, wirid atau sekadar ikut hajatan dan kenduri. Ha, siapa yang tidak tergering hatinya melihat lelaki dengan tubuh ringkih sedikit bungkuk itu harus menjadi seorang penjaga malam.
Begitulah, meski hidup pedih, katanya. Tapi ia seluit sabit tetap merekah di sana. Bertengger dengan dada membuncah bagi yang melihatnya. Iyalah, kakek berhati cerlang itu tiada pernah berkira untuk membantu tetangganya. Pun rumah reot yang papan-papannya lapuk digeranyangi rayap tetap diduduki oleh tiga anaknya yang sudah menikah. Ah, potret buram.
Kalian tahu di mana mereka tinggal?
Jika misalkan kalia singgah ke Medan, terus ingin jalan-jalan ke Palladium atau menginapa semalam dua malam di Arya Duta atau Hotel Santika, sesekali cobalah untuk mencari tahu apa di balik bangunan megah ini. Ya, kalian akan terkejut, terkejut sangat. Sebab di sana, akan kalian temui sebuah perkampungan kecil sederhana dan terbelakang. Mengapa aku menyebutnya terbelakang. Ah, kukira jika kalian mau mencari tahunya sendiri kalian akan sepakat denganku.
Sudah tabiat kota besar; di balik kemegahan yang ditampilkan, ada kekumuhan yang disembunyikan. Dan kami, para mujahid pena, hidup dan berbaur dengan mereka; merasakan pedih itu, saling membahu dan bekerja sama. Inilah uniknya orang-orang kecil; masih membudaya dalam perangai mereka semangat bahu membahu, peduli memeduli.
Lantas, acap kali orang-orang yang dianggap kecil ini pulalah yang menginspirasi orang banyak untuk berbuat hal yang lebih besar. Seperti sang kakek, meski hidup digelung nestapa, namun senyum terus membara.
----Ragha Putra yang sedang belajar menulis----
Pages
Catatan Si Ragha
Sang Penandai
Senin, 26 Maret 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Facebook Badge
Facebook Badge
Pengikut
Entri Populer
-
Tsunami Aceh tahun 2004 lalu masih menyisakan luka yang mendalam. Tidak hanya bagi korban bencana, namun siapapun yang melihat dan menden...
-
Ringkasan Novel: Langit Senja Kota Medan. Pagi itu adalah pagi yang menyenangkan bagiku. Pagi yang berbeda. Pagi yang menyisakan ha...
-
Oleh : Sang Penandai Sebenarnya saya bukanlah seorang maniak film. Apalagi film-film import, toh film-film dalam negeri saja saya banya...
-
Kau Sahabat Kau Teman Telah tiba saat waktu kau tinggalkan kami Kerana takdir yang Maha Esa telah menetapkan Sedih rasanya hati ini bil...
-
Sebenarnya aku sendiri tidak tahu pasti muasal kata lebay ini. Kata ini begitu populer di awal tahun 2008, saat itu salah seorang teman k...
Labels
- Non Fiksi (1)
0 komentar:
Posting Komentar