Pages

Langit Senja

Senin, 09 April 2012 0 komentar


Ringkasan Novel: Langit Senja Kota Medan.

Pagi itu adalah pagi yang menyenangkan bagiku. Pagi yang berbeda.  Pagi yang menyisakan harapan tentang  rasa  yang belum bisa aku mengerti. Ini tentang dia, murid baru pindahan di sekolahku.  Dia yang  saat memperkenalkan namanya sebagai Ayunda.  Ya, namanya seindah rupanya.  Gadis kecil dengan rambut dikucir dua. Berkulit kuning langsat. Tanpa lesung pipi.  Berpakaian putih dan rok biru tua bersih dan rapi. Berbeda dengan baju putihku yang kusam, celana biruku yang pudar. Amat menyenangkan melihat wajahnya.  Ramah dengan senyum sumringah.
Jadilah pagi itu amat berbeda dengan pagi-pagi sebelumnya.  Pagi yang selalu membuatku mengerti mengapa harapan-harapan itu terus tumbuh. Umurku masih 12 tahun hari itu. Baru tumbuh remaja dan masih sedikit memahami arti degupan jantung tiap melihatnya. Degupan jantung yang sering membuat kalang kabut tiap kali ia menyapa. Padahal siapalah aku. Aku hanyalah pemuda kecil yang pemalu, tertutup dan tak memiliki banyak teman. Aku jauh dari kata popular dibandingkan dengan Radit yang tak usah perlu kujelaskan kau sendiri akan mengerti tampang dan rupanya yang mirip boy band Korea itu.
Ya, bukan sebuah ketabuan lagi jika kami anak-anak yang baru tumbuh ini mulai sibuk berdandan. Mulai pamer tampang dan kemolekan. Mulai curi-curi pandang pada orang yang kami suka dan mulai nakal untuk lebih tahu hal banyak apa yang selama ini tidak kami ketahui, biar kami tidak disebut anak-anak lagi.
Bobi bahkan pernah tertangkap basah membawa  majalah dewasa yang berujung pada pemanggilan orang tuanya. Andre, lelaki jangkung dengan kulit putih itu saban hari harus kesal dengan isi tasnya yang dipenuhi dengan surat cinta dari adik kelas bahkan kakak kelas. Rindu, gadis kecil yang pintar itu terlalu sombong untuk menolak setiap perhatian yang diberikan oleh pengagumnya. Dan aku, aku hanyalah pemuda kecil, kurus dan tidak tampan sama sekali. 
Aku sering tidak bergairah untuk datang ke sekolah sebab sekolah bukan lagi tempat belajar  tapi jadi arena bergaya dan gengsi.  Siapalah yang mau berteman dengan  anak laki-laki yang terlihat bodoh, kumal dan penjual kue keliling setiap pulang sekolah. Spontan, aku tidak punya waktu bermain seperti teman-temanku bermain. Aku tidak punya  geng seperti Radit cs. Dan beberapa kali aku sering jadi bulan-bulana mereka, bilang aku adalah makhluk aneh yang terdampar di sekolah ini. Sejak kelas satu diminta  menjadi ketua kelas  agar bisa disuruh-suruh melakukan ini dan itu. Bahkan diancam untuk tidak besar mulut setiap kali mereka merokok dan cabut. Ah, aku hanya bisa mengelus dada.
Bukan aku pengecut. Bukan. Aku bisa saja melawan, melaporkan atau apa saja kelakuan mereka pada guru BP. Tapi apa untungnya bagiku. Ini bukan seperti film-film yang selalu kalian tonton di mana orang-orang lemah akan menjadi pahlawan  setiap kali ada penindasan. Bukan, aku hanya tidak mau menambah daftar masalah yang tengah aku hadapi.  Sudah cukup semuanya. Aku bahagia dengan kehidupanku yang selalu dianggap sebelah mata. Menjadi penjual kue keliling dengan dua orang tua yang juga berjualan. Sedang mereka, mereka adalah anak-anak dari pimpinan bank di kotaku.  Pantas saja mereka belagu. 

Catatan Hati Seorang Anak 2

Senin, 02 April 2012 1 komentar

Pagi mendung. Bau hujan masih mengepung. Aku menjenguk dari balik jendela menengadah langit yang abu-abu.  Tempat ini sunyi. Tenang dan damai. Tak ada suara ribut-ribut. Meski sesekali raunga motor, tangisan anak kecil dan lengking suara ibu memanggil anaknya, menyuruh pulang; tidur siang atau mandi.

Aku menghirup udara ini dalam-dalam. Rindu menyeruak pada kampung halamanku seketika. Rindu yang kian tanak saat seluit wajah Mak tergambar di langit sana. Saat mata penyayang Ayah berkedip kepadaku, bilang kapan kau pulang?

Sampai rindu itu kian membuncah dan aku ingin segera pulang. Tapi tidak sekarang, aku masih ingin terus berjuang; mewujudkan segudang mimpiku, menuliska novel tentang engkau, Mak.

Ya, itulah sekarang yang tengah menggelayuti asaku. Aku ingin menulis tentang ibuku. Sebab ia pernah bilang, "Mak tidak pernah menyangka kalau kau bisa menulis."
Aku hanya tersenyum saat itu. Senyum malu-malu. Sebab sampai hari inipun aku masih tidak pernah percaya diri.

Aku coba membuktikannya, Mak, dengan mengirimkan karya-karyaku ke koran-koran. Alhamdulillah, sepanjang aku menulis selalu diterima oleh redaktur dan perlahan teman-temanku mulai percaya bahwa aku bisa menulis. Meski banyak yang tidak suka, itu biasa bagiku.

Aku selalu ingat apa yang sering dibilang, Mak, percayalah pada kemampuanmu sendiri. Tak usah pikirkan apa kata orang, ambil yang baik dan buang yang buruk. Orang-orang yang tidak menyukai kita sering kali adalah orang-orang yang paling memperhatikan kita. Maka berikan yang terbaik. Jadilah anak Mak yang membanggakan.

Meski aku selalu menorehkan kecewa untukmu, Mak. Aku bersumpah akan menulis kisah tentang kau. Kau adalah ibu yang hebat. Kau ajarkan kami bagaimana menjalai hidup yang kejam ini dengan baik. Kau didik aku dengan iman, selalu berpesan agar aku tidak pernah meninggalkan solat.

Dulu, ketika aku SD, aku adalah anakmu yang paling besar kemaunnya. Selalu memaksa untuk dibelikan ini dan itu. Tidak pernah mau tahu, Mak ada uang atau tidak. Mak hanya bilang, jika ada rezeki insyallah akan dibeli. Aku malah tak mengerti dan mencak-mencak tak karuan.

Ah, Mak, sekarang aku tengah membongkar memoarku tentangmu. Kau memang bukan siapa-siapa, bukan pejabat atau pemerintah. Tapi di sini, di hatiku, kau adalah napasku.

Semoga aku bisa melakukannya. Aku hanya mau bilang pada dunia; aku memiliki Mak yang sederhana, polos dan apa adanya.

 
Sang Penandai © 2011 | Designed by Bingo Cash, in collaboration with Modern Warfare 3, VPS Hosting and Compare Web Hosting