Pages

Cerpen: Sahabat Langit

Rabu, 22 Februari 2012


Kau Sahabat Kau Teman 

Telah tiba saat waktu kau tinggalkan kami
Kerana takdir yang Maha Esa telah menetapkan
Sedih rasanya hati ini bila mngenangkan
Kau sahabatku kau teman sejati

Tulus ikhlasmu luhur budimu bagai tiada pengganti
Senyum tawamu juga katamu menghiburkan kami
Memori indah kita bersama terus bersemadi
Kau sahabatku kau teman sejati


Sudah ditakdirkan kau pergi dulu
Di saat kau masih diperlukan
Tuhan lebih menyayangi dirimu
Ku pasrah diatas kehendak yang Esa

Ya Allah,tempatkannya di tempat yang mulia
Tempat yang kau janjikan nikmat untuk hamba Mu
Sahabatku akan ku teruskan perjuangan ini
Walau ku tahu kau tiada di sisi

Perjuangan kita masih jauh beribu batu
Selagi roh masih di jasad hidup diteruskan
Sedih rasa hati ini mengenangkan dikau
Bagai semalam kau bersama kami


 Moga amanlah dan bahagia dikau di sana
Setangkai doa juga Fatehah terus kukirimkan
Moga di sana kau bersama para solehin
Ku sahabatku kau teman sejati









Sahabat Langit

Entah kapan, aku juga tidak tahu hal apa agaknya yang mengakrabkan kita. Apakah sejak kita duduk di bangku tsanawiyah kelas satu. Kau hadir meski  sekadar menyapaku, mendengar cerita-ceritaku dan sok baik memberikan tisu untukku. Kubilang untuk apa tisu ini? Kau jawab, untuk menyeka air mataku. Aku tertawa, kau pikir saat itu aku akan menangis. Tidak, tidak akan pernah ada airmata ketika aku sedang sedih. Lantas kau bilang, kau sering memergokiku menangis di kamar asrama. Kapan? Ah, aku lupa kalau aku pernah menangis.
Lalu, hampir setiap hari kita lewati jembatan hidup dengan tertawa. Ya, aku seperti adik bungsumu saja, yang harus kau jaga saban hari. kau tahu aku penyakitan. Tapi sungguh, aku tidak pernah mau kau anggap lemah. Kau berlebihan memperlakukanku. Padahal, kau bukan siapa-siapa. Kau hanya saudara seimanku dan teman satu asrama di pondok pesantren ini. Titik.
Setiap jam makan. Saat aku berjalan malas-malasan ke kamar asrama. Kau menggaet tanganku. Bilang, jadi laki-laki jangan lamban. Aku lelah. aku tidak ingin ke dapur. Lalu, aku pura-pura bilang bahwa aku sakit dan kau mengambilkan nasiku. Oh, indah sekali persahabatan itu di matamu.
Di kelas. Kita selalu sebangku. Duduk di deretan bangku kedua. Kau santri yang cerdas. Daya tangkapmu luar biasa. Sedang aku, otakku pas-pasan. Apalagi jika pelajaran itu Fisika,Kimia atau Matematika, aku menyerah. Jadi, apakah kau ingat, pernah suatu siang, aku disuruh mengerjakan pelajaran Kimia ke depan. Aku tak tahu apa-apa. Dan kau mengerjakan tugas itu di secarik kertas lalu menyerahkannya padaku. Aku lega luar biasa.

Teman-teman kita sering bilang bahwa kita adalah sendok dan garpu. Saking akrabnya. Padahal banyak yang ingin menjadi temanmu, tapi kau bilang mereka itu bukan orang-orang yang tulus.  Mereka hanya ingin berteman agar bisa kau berikan contekan. Sedang aku, tak pernah sekalipun minta kau mengerjakan tugasku. Aku hanya minta diajari bagaimana mengerjakan pelajaran yang tidak aku mengerti.
Aku pernah bertanya, bagaimana rasaya menjadi pintar dan tampan? Kau hanya balas dengan senyuman.
Kau yang bilang, bahwa aku akan menjadi penulis. Kau benar, hari ini satu persatu cerpen-cerpenku sering dimuat. Bahkan sekarang aku sudah mulai bisa menulis resensi buku, alhmdulillah dimuat juga. Aku ingat saat kau bilang, tak ada manusia yang bodoh, setiap orang diberi kecerdasan masing-masing . Oh, kau memang saudaraku yang paling baik.
Salahnya. Apakah benar ini salah? Kau terlalu baik padaku. Kau anggap aku sebagai orang yang paling diksihani. Kau merampas semua yang ingin aku rasakan. Aku lebih dianggap sebagai bayag-bayangmu. Semacam orang lemah yang tidak mampu melakukan apapun.  Aku bosan dan muak dengan segala kebaikanmu. Belum lagi kau disukai oleh santriwati yang aku sukai. Ia mengirimu surat, saat itu kau menyuruh aku membaca juga. Aku cemburu luar biasa. Bagaimana mungkin orang yang aku suka mati-matian di dalam hatiku itu menyukaimu. Parahnya, gadis belia itu meminta tolong padaku. Sebab ia tahu aku kawan baikmu. Oh, jika saja ustaz tahu hal ini. Bisa mati kita; dibotak dan dikeluarkan.
Aku cemburu denga segala yang kau miliki; tampan, pintar dan anak orang kaya pula. Mengapa hidupmu begitu beruntung? Sedang aku; kurus, jelek dan bukan anak orang kaya. Akal sehatku hilang, aku merasa menjadi kacungmu saja.  Aku menjauhimu dan kau binggung.
Aku bergabung dengan para Beo (sebuah geng yang bertingkah aneh). Sibuk menjadi bagian mereka, mengikuti gaya hidup mereka, suka keluar asrama tanpa izin. Sampai aku pernah dibotak dan diberdirikan di tengah lapangan.  Begitupun kau tak pernah benci padaku. Bahkan bertanya, apa kita punya masalah.
Kau tahu, hari di mana aku tak masuk kelas,diam-diam aku membongkar catatan harianmu. Di sanalah aku baru sadar. Aku telah menjauhi orang yang salah. Kau adalah pemuda belia yang mencoba mengamalkan Islam. Kau tulis, kau tidak akan pacaran, akan menikah selepas kuliah nanti. Ingin menda’wahkan Islam dan aku semakin malu kepadamu. Aku malu menjadi orang yang tidak tahu diri.  Dan satu lagi, hal yang paling membuatku terkejut, di sana aku masih ingat kalimat yang kau tuliskan, Ya Allah, aku ikhlas dengan KANKER OTAK ini.
Kanker otak?
Dan itu membuatku hampir luruh. Inilah pertama kali aku menangisi orang lain yang bukan berasal dari darah yang sama.  Mengapa aku baru sadar sekarang?  Mengapa aku tak pernah menanyakan kau yang sering pingsan, darah yang sering merembes dari hidungmu. Mengapa tidak pernah kuperhatikan wajahmu yag sering pucat, rambutmu yang sering rontok dan wajahmu yang kuyu? Mengapa justru kau yang menjagaiku ketika aku masuk rumah sakit dulu.
Saat itu aku mencarimu seperti orang kesetanan; ke kelas, masjid, ruang praktik, perpustakaan, kantin,  kamar mandi, lapangan bola dan menanyai setiap orang yang kutemui. Kau tak ada. Aku ingin minta maaf secepatnya.
Akhirnya kudapati kau di sebuah jembatan yang menghubungkan kita menuju dapur umum. Di sana kau tersenyum memandang ikan-ikan di kolam. Kau melempar remah-remah roti. Sedang aku, hatiku bergemuruh. Aku tidak ingin menangis di depanmu seperti janjiku dulu. Tapi, hatiku kian basah. Bagaimana mungkin orang sebaik kau harus menderita penyakit mematikan ini?
Kau menoleh ketika aku menyentuh bahumu. Sekilas tersenyum. Kau tanya, masih mau menjadi temanku? Aku gagap. Di saat seperti ini pun kau masih suka  bercanda. Aku tak membalas gurauanmu. Kenapa kau tak bilang? Itu yang keluar dari bibirku. Kau binggung. Kau tanya aku balik. Kau pintar sekali berpura-pura. Lalu, sore itu untuk pertama kalinya satu tetes air mataku jatuh. Kau sebut aku si cenggeng.  Aku tak peduli. 
“Bulan depan aku operasi. Kecil kemungkinan akan sembuh. Ini sudah stadium akhir.”
Innalillahi, aku mendongak wajahku ke langit. Menahan gemuruh. Kita sama-sama diciptakan dengan penyakit. Aku gagal jantung. Dan kau kanker otak. Dan teman-tema kita di asrama tidak ada yang tahu hal ini.
“Jika aku mati. Aku ingin mendonorkan jantungku untukmu.”
“Hei, Kawan. Ini bukan sinetron atau film drama. Kau jangan macam-macam. Kau pasti sembuh.” Aku memaku wajahmu dengan tatapanku.
Kau membuang wajahmu. Memaku kolam dengan pandangan.  Tiba-tiba darah itu merembes lagi dari hidungmu. Warnanya merah kehitaman.  Aku gugup. Kau rogoh kantung celanamu. Kau usap. Sapu tangan itu berubah warna.
“Kau harus sembuh. Kau punya beribu mimpi yang mulia.”  Kataku
“Aku ingin mati syahid. Setidaknya sebagai pelajar yang belajar karena Allah. Aku ingin syahid.”
Tak lama. Kau rubuh tiba-tiba.
***
Sudah takdir. Esoknya kau meninggal. Secepat inikah? Ah, aku bahkan tidak percaya. Aku tidak punya teman sebangku lagi. Aku tidak tahu harus minta tolong pada siapa tentang pelajaran Kimia, Fisika dan Matimatika. Aku binggung siapa yang akan menyimak hafalan Quranku.  Siapa lagi saudaraku yang akan menemani perjuangan yang belum selesai ini. Aku ingin kita berjihad bersama. Dan maaf pula, aku ingin kau meninggal dengn tubuh yang utuh. Maka, kutolak donor jantungmu.

(Cerpen ini saya dedikasikan untuk saudara saya yang telah berpulang kerahmatullahi, selamat jalan, Kawan.)  



6 komentar:

  1. Unknown mengatakan...:

    wow... sangat menyentuh..

  1. Sang Penandai mengatakan...:

    terima kasih telah membaca, Mas Jaka Satria

  1. Dewi chairani mengatakan...:

    Gerimis rasa-a...

  1. Nufa Zee mengatakan...:

    dia akan hidup selamanya, di hati =)

Posting Komentar

 
Sang Penandai © 2011 | Designed by Bingo Cash, in collaboration with Modern Warfare 3, VPS Hosting and Compare Web Hosting