Kau Sahabat Kau Teman
Telah tiba saat waktu kau tinggalkan kami
Kerana takdir yang Maha Esa telah menetapkan
Sedih rasanya hati ini bila mngenangkan
Kau sahabatku kau teman sejati
Tulus ikhlasmu luhur budimu bagai tiada pengganti
Senyum tawamu juga katamu menghiburkan kami
Memori indah kita bersama terus bersemadi
Kau sahabatku kau teman sejati
Sudah ditakdirkan kau pergi dulu
Di saat kau masih diperlukan
Tuhan lebih menyayangi dirimu
Ku pasrah diatas kehendak yang Esa
Ya Allah,tempatkannya di tempat yang mulia
Tempat yang kau janjikan nikmat untuk hamba Mu
Sahabatku akan ku teruskan perjuangan ini
Walau ku tahu kau tiada di sisi
Perjuangan kita masih jauh beribu batu
Selagi roh masih di jasad hidup diteruskan
Sedih rasa hati ini mengenangkan dikau
Bagai semalam kau bersama kami
Moga amanlah dan bahagia dikau di sana
Setangkai doa juga Fatehah terus kukirimkan
Moga di sana kau bersama para solehin
Ku sahabatku kau teman sejati
Sahabat
Langit
Entah
kapan, aku juga tidak tahu hal apa agaknya yang mengakrabkan kita. Apakah sejak
kita duduk di bangku tsanawiyah kelas satu. Kau hadir meski sekadar menyapaku, mendengar cerita-ceritaku
dan sok baik memberikan tisu untukku. Kubilang untuk apa tisu ini? Kau jawab,
untuk menyeka air mataku. Aku tertawa, kau pikir saat itu aku akan menangis. Tidak,
tidak akan pernah ada airmata ketika aku sedang sedih. Lantas kau bilang, kau
sering memergokiku menangis di kamar asrama. Kapan? Ah, aku lupa kalau aku
pernah menangis.
Lalu,
hampir setiap hari kita lewati jembatan hidup dengan tertawa. Ya, aku seperti
adik bungsumu saja, yang harus kau jaga saban hari. kau tahu aku penyakitan. Tapi
sungguh, aku tidak pernah mau kau anggap lemah. Kau berlebihan memperlakukanku.
Padahal, kau bukan siapa-siapa. Kau hanya saudara seimanku dan teman satu
asrama di pondok pesantren ini. Titik.
Setiap
jam makan. Saat aku berjalan malas-malasan ke kamar asrama. Kau menggaet
tanganku. Bilang, jadi laki-laki jangan lamban. Aku lelah. aku tidak ingin ke
dapur. Lalu, aku pura-pura bilang bahwa aku sakit dan kau mengambilkan nasiku. Oh,
indah sekali persahabatan itu di matamu.
Di
kelas. Kita selalu sebangku. Duduk di deretan bangku kedua. Kau santri yang
cerdas. Daya tangkapmu luar biasa. Sedang aku, otakku pas-pasan. Apalagi jika
pelajaran itu Fisika,Kimia atau Matematika, aku menyerah. Jadi, apakah kau
ingat, pernah suatu siang, aku disuruh mengerjakan pelajaran Kimia ke depan. Aku
tak tahu apa-apa. Dan kau mengerjakan tugas itu di secarik kertas lalu
menyerahkannya padaku. Aku lega luar biasa.
Teman-teman
kita sering bilang bahwa kita adalah sendok dan garpu. Saking akrabnya. Padahal
banyak yang ingin menjadi temanmu, tapi kau bilang mereka itu bukan orang-orang
yang tulus. Mereka hanya ingin berteman
agar bisa kau berikan contekan. Sedang aku, tak pernah sekalipun minta kau
mengerjakan tugasku. Aku hanya minta diajari bagaimana mengerjakan pelajaran
yang tidak aku mengerti.
Aku
pernah bertanya, bagaimana rasaya menjadi pintar dan tampan? Kau hanya balas
dengan senyuman.
Kau
yang bilang, bahwa aku akan menjadi penulis. Kau benar, hari ini satu persatu
cerpen-cerpenku sering dimuat. Bahkan sekarang aku sudah mulai bisa menulis
resensi buku, alhmdulillah dimuat juga. Aku ingat saat kau bilang, tak ada
manusia yang bodoh, setiap orang diberi kecerdasan masing-masing . Oh, kau
memang saudaraku yang paling baik.
Salahnya.
Apakah benar ini salah? Kau terlalu baik padaku. Kau anggap aku sebagai orang yang paling diksihani. Kau merampas semua yang ingin aku rasakan. Aku lebih dianggap sebagai bayag-bayangmu. Semacam orang lemah yang tidak mampu melakukan apapun. Aku bosan dan muak dengan segala kebaikanmu. Belum lagi kau disukai oleh santriwati yang aku sukai. Ia mengirimu
surat, saat itu kau menyuruh aku membaca juga. Aku cemburu luar biasa. Bagaimana
mungkin orang yang aku suka mati-matian di dalam hatiku itu menyukaimu. Parahnya,
gadis belia itu meminta tolong padaku. Sebab ia tahu aku kawan baikmu. Oh, jika
saja ustaz tahu hal ini. Bisa mati kita; dibotak dan dikeluarkan.
Aku
cemburu denga segala yang kau miliki; tampan, pintar dan anak orang kaya pula. Mengapa
hidupmu begitu beruntung? Sedang aku; kurus, jelek dan bukan anak orang kaya. Akal sehatku hilang, aku merasa menjadi kacungmu
saja. Aku menjauhimu dan kau binggung.
Aku
bergabung dengan para Beo (sebuah geng yang bertingkah aneh). Sibuk menjadi
bagian mereka, mengikuti gaya hidup mereka, suka keluar asrama tanpa izin. Sampai
aku pernah dibotak dan diberdirikan di tengah lapangan. Begitupun kau tak pernah benci padaku. Bahkan bertanya,
apa kita punya masalah.
Kau
tahu, hari di mana aku tak masuk kelas,diam-diam aku membongkar catatan harianmu. Di sanalah aku baru sadar. Aku telah menjauhi orang yang salah. Kau
adalah pemuda belia yang mencoba mengamalkan Islam. Kau tulis, kau tidak akan
pacaran, akan menikah selepas kuliah nanti. Ingin menda’wahkan Islam dan aku
semakin malu kepadamu. Aku malu menjadi orang yang tidak tahu diri. Dan satu lagi, hal yang paling membuatku
terkejut, di sana aku masih ingat kalimat yang kau tuliskan, Ya Allah, aku
ikhlas dengan KANKER OTAK ini.
Kanker
otak?
Dan
itu membuatku hampir luruh. Inilah pertama kali aku menangisi orang lain yang
bukan berasal dari darah yang sama. Mengapa
aku baru sadar sekarang? Mengapa aku tak
pernah menanyakan kau yang sering pingsan, darah yang sering merembes dari
hidungmu. Mengapa tidak pernah kuperhatikan wajahmu yag sering pucat, rambutmu
yang sering rontok dan wajahmu yang kuyu? Mengapa justru kau yang menjagaiku ketika
aku masuk rumah sakit dulu.
Saat
itu aku mencarimu seperti orang kesetanan; ke kelas, masjid, ruang praktik,
perpustakaan, kantin, kamar mandi,
lapangan bola dan menanyai setiap orang yang kutemui. Kau tak ada. Aku ingin
minta maaf secepatnya.
Akhirnya
kudapati kau di sebuah jembatan yang menghubungkan kita menuju dapur umum. Di sana
kau tersenyum memandang ikan-ikan di kolam. Kau melempar remah-remah roti. Sedang
aku, hatiku bergemuruh. Aku tidak ingin menangis di depanmu seperti janjiku
dulu. Tapi, hatiku kian basah. Bagaimana mungkin orang sebaik kau harus
menderita penyakit mematikan ini?
Kau
menoleh ketika aku menyentuh bahumu. Sekilas tersenyum. Kau tanya, masih mau
menjadi temanku? Aku gagap. Di saat seperti ini pun kau masih suka bercanda. Aku tak membalas gurauanmu. Kenapa kau
tak bilang? Itu yang keluar dari bibirku. Kau binggung. Kau tanya aku balik. Kau
pintar sekali berpura-pura. Lalu, sore itu untuk pertama kalinya satu tetes air
mataku jatuh. Kau sebut aku si cenggeng. Aku tak peduli.
“Bulan
depan aku operasi. Kecil kemungkinan akan sembuh. Ini sudah stadium akhir.”
Innalillahi,
aku mendongak wajahku ke langit. Menahan gemuruh. Kita sama-sama diciptakan
dengan penyakit. Aku gagal jantung. Dan kau kanker otak. Dan teman-tema kita di
asrama tidak ada yang tahu hal ini.
“Jika
aku mati. Aku ingin mendonorkan jantungku untukmu.”
“Hei,
Kawan. Ini bukan sinetron atau film drama. Kau jangan macam-macam. Kau pasti
sembuh.” Aku memaku wajahmu dengan tatapanku.
Kau
membuang wajahmu. Memaku kolam dengan pandangan. Tiba-tiba darah itu merembes lagi dari
hidungmu. Warnanya merah kehitaman. Aku gugup.
Kau rogoh kantung celanamu. Kau usap. Sapu tangan itu berubah warna.
“Kau
harus sembuh. Kau punya beribu mimpi yang mulia.” Kataku
“Aku
ingin mati syahid. Setidaknya sebagai pelajar yang belajar karena Allah. Aku ingin
syahid.”
Tak
lama. Kau rubuh tiba-tiba.
***
Sudah
takdir. Esoknya kau meninggal. Secepat inikah? Ah, aku bahkan tidak percaya. Aku
tidak punya teman sebangku lagi. Aku tidak tahu harus minta tolong pada siapa
tentang pelajaran Kimia, Fisika dan Matimatika. Aku binggung siapa yang akan
menyimak hafalan Quranku. Siapa lagi
saudaraku yang akan menemani perjuangan yang belum selesai ini. Aku ingin kita
berjihad bersama. Dan maaf pula, aku ingin kau meninggal dengn tubuh yang utuh.
Maka, kutolak donor jantungmu.
(Cerpen
ini saya dedikasikan untuk saudara saya yang telah berpulang kerahmatullahi,
selamat jalan, Kawan.)
wow... sangat menyentuh..