Pages

Catatan Hati Seorang Anak (Ragha Putra*)

Kamis, 23 Februari 2012



Mak, ini catatan sengaja aku tuliskan untukmu.  Meski aku tahu engkau tidak akan membaca ini, sebab engkau terlalu sibuk mengurus kami. Hanya saja aku ingin dunia tahu, bahwa aku memiliki seorang mamak yang paling mulia. Bukan sembarang mamak, meski engkau tetap juga cerewet dan sering marah.
Mak, sesungguhnya aku tidak akan pernah sanggup hidup tanpamu. Jika orang lain bilang ibu mereka adalah sumber kekuata mereka, maka bagiku kau adalah napasku, detak jantungku. Apa jadinya aku jika engkau tak ada. Apa jadinya jika engkau membenciku.
Mak, pernah aku tidak suka setiap kali engkau memerengutiku. Saat itu aku tahu aku telah begitu menyakitimu. Seperti yang sering engkau bilang, aku adalah anak lelakimu yang keras kepala. Suka menghancurkan perabotan dan alat-alat make-up mamak ketika aku merajuk. Setelah itu, aku lari dari rumah, tak pulang seharian. Engkau dengan cemas mencariku, bilang bahwa engkau tidak akan marah padaku. Tapi, malam itu Ayahlah yang telah menghajarku habis-habisan. Dan engkau membelaku habis-habisan pula.
Mak, di antara kami bertiga, mengapa aku yang paling engkau perhatikan. Bukankah itu akan membuat iri kedua adikku. Bukankah itu membuatku menjadi anak lelaki yang manja. Ah, entahlah. Kadang aku benci dengan perlakuan yang sering berlebihan. Aku tak butuh untuk diingatkan makan, istrahat  dan segala tetek bengek menyangkut diriku.  Dan aku pernah membentakmu , bilang bahwa aku bukan anak-anak lagi.
Mak, aku pernah meminta engkau menceritakan bagaimana aku dilahirkan dulu. Lalu pada sebuah malam yang masih belia, saat kita berdua bercengkrama di beranda rumah, engkau dengan air mata tertahan bercerita.
“Mak dulu tidak siap untuk melahirkanmu. Bukan tidak senang dengan kelahiran putra pertama. Mak dalam keadaan sakit. Harus operasi tapi Mak tak mau. Mak rela mati demi agar kau bisa selamat. Dengan sisa-sisa tenaga yang Mak punya kau lahir. Kau tak menangis. Tubuhmu yang masih merah darah itu begitu kuyu. Kecil. Ditunggu lama tapi kau tak menangis juga. Ayahmu mencoba menenangkan Mak. Dokter bilang kau meninggal. Mak bahkan tak bisa menangis lagi.”
Mak, tahukah engkau bagaimana hatiku  basah mendengar cerita itu. Aku sehat sekarang. aku sudah beranjak dewasa. Bahkan aku sering membantahmu. Oh, inikah balasan yang kuberikan?
Mak, masih ingatkah  saat aku meminta dibelikan sepatu baru dulu. Sepatu putih yang ada lampunya itu. Aku memaksa meski aku tahu engkau tidak memiliki cukup uang. Aku marah, bilang aku tidak akan pulang ke rumah. Aku bermain ke umbul. Mungkin aku kualat, aku jatuh di tebing yang curam. Tanganku terkilir. Kakiku berdarah-darah. Dan kau dengan begitu panik membawaku berobat.
Tidak sampai di situ aku menyusahkanmu. Sejak kecil, sejak masih bayi. Aku terlahir dengan penyakit bawaan. Setiap bulan wajib sakit. Rumah sakit, selang infus, obat, dokter dan jarum suntik bukan hal baru bagiku. Bahkan engkau  pernah marah pada dokter sebab menyuntik di bagian kedua pahaku. Dokter bilang, ini demi kesembuhanku.
Mak, aku tidak pernah menjadi anakmu yang membanggakan. Tapi aku tahu engkau bangga padaku. Kau bilang, cukuplah menjadi anak yang shalih saja. Biar bisa mendoakan Mak dan Ayah ketika tak ada nanti. Oh, andai engkau tahu, aku tak suka engkau berbicara seperti itu. Aku ingin engkau ada di sisiku selamanya, Mak.
Mak, ayah memintaku masuk pesantren. Berarti aku harus jauh darimu. Aku tidak siap, Mak. Aku tidak bisa. Aku menangis seharian. Tapi tak kujelaskan alasanku yang sebenarnya. Aku bilang saja aku ingin sekolah umum. Engkau malah membujukku. Aku  akhirnya menurut juga. Tahukah engkau, Mak. Bertahun-tahun aku berpisah denganmu. Aku kerjakan semua sendiri. Saat itu aku rindu engkau meneriakiku untuk makan. Menyuruhku tidur secepatnya. Memintaku meminum obat sebelum tidur. Dan itu semua tak ada.
Mak, catatan harianku penuh namamu. Engkau pernah membacanya, bukan? Dan engkau menangis. Aku malu, ini catatan pribadiku. Mengapa Mak harus baca?
Mak, belum selesai abdimu kepada kami. Engkau seperti malaikat yang sengaja diutus Tuhan. Aku masih ingat bagaimana engkau harus berjuang sendirian  ketika ayah jatuh sakit. Dan aku adalah anak laki-lakimu yang tidak bisa diharapkan.  Begitupun kau masih saja memerhatikanku. Padahal, engkau sendiri? Siapa yang memerhatikanmu, Mak.
Mak, maafkan aku jika saat ini masih saja aku mengadu. Padahal seharusnya akulah yang mendengarkan keluh kesahmu.  Tahukah, Mak. Dalam sholat aku meminta agar Allah memberikanku perempuan seperti engkau. Perempuan yang tidak pernah mengeluh. Pekerja keras dan apa adanya. Perempuan yang tidak suka mengunjing. Perempuan yang baik budinya.  Meski aku tahu, itu hanya sekadar harapan.
Mak, terima kasih telah melahirkanku dengan indah. Mendidikku dengan iman. Aku bersyukur memiliki engkau, yang taat pada Allah. Yang sering mengingatkanku untuk  sholat.  Meski hari ini aku memberikanmu gunung emas sekalipun. Tak berbalas dengan setetes air susumu. Mak, biarlah angin yang menyampaikan gemuruh rindu di hatiku ini. Aku mencintaimu dengan segenap jiwa ragaku.
“Allah, pintaku apapun kebaikan yang pernah aku lakukan untukMu.  Cukup beri  ganjarannya pada Mamakku. Sungguh demi engakau, Mak. Aku rela dijilat api neraka.”

Di Rumah Cahaya FLP-Sumut, ketika langit tengah hari begitu gelap.

*Ragha Putra adalah nama pena dari Abdi Putra Siregar.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Sang Penandai © 2011 | Designed by Bingo Cash, in collaboration with Modern Warfare 3, VPS Hosting and Compare Web Hosting