Mak,
ini catatan sengaja aku tuliskan untukmu.
Meski aku tahu engkau tidak akan membaca ini, sebab engkau terlalu sibuk
mengurus kami. Hanya saja aku ingin dunia tahu, bahwa aku memiliki seorang
mamak yang paling mulia. Bukan sembarang mamak, meski engkau tetap juga cerewet
dan sering marah.
Mak,
sesungguhnya aku tidak akan pernah sanggup hidup tanpamu. Jika orang lain
bilang ibu mereka adalah sumber kekuata mereka, maka bagiku kau adalah napasku,
detak jantungku. Apa jadinya aku jika engkau tak ada. Apa jadinya jika engkau
membenciku.
Mak,
pernah aku tidak suka setiap kali engkau memerengutiku. Saat itu aku tahu aku
telah begitu menyakitimu. Seperti yang sering engkau bilang, aku adalah anak
lelakimu yang keras kepala. Suka menghancurkan perabotan dan alat-alat make-up
mamak ketika aku merajuk. Setelah itu, aku lari dari rumah, tak pulang
seharian. Engkau dengan cemas mencariku, bilang bahwa engkau tidak akan marah
padaku. Tapi, malam itu Ayahlah yang telah menghajarku habis-habisan. Dan
engkau membelaku habis-habisan pula.
Mak,
di antara kami bertiga, mengapa aku yang paling engkau perhatikan. Bukankah itu
akan membuat iri kedua adikku. Bukankah itu membuatku menjadi anak lelaki yang
manja. Ah, entahlah. Kadang aku benci dengan perlakuan yang sering berlebihan. Aku
tak butuh untuk diingatkan makan, istrahat
dan segala tetek bengek menyangkut diriku. Dan aku pernah membentakmu , bilang bahwa aku
bukan anak-anak lagi.
Mak,
aku pernah meminta engkau menceritakan bagaimana aku dilahirkan dulu. Lalu pada
sebuah malam yang masih belia, saat kita berdua bercengkrama di beranda rumah,
engkau dengan air mata tertahan bercerita.
“Mak
dulu tidak siap untuk melahirkanmu. Bukan tidak senang dengan kelahiran putra
pertama. Mak dalam keadaan sakit. Harus operasi tapi Mak tak mau. Mak rela mati
demi agar kau bisa selamat. Dengan sisa-sisa tenaga yang Mak punya kau lahir. Kau
tak menangis. Tubuhmu yang masih merah darah itu begitu kuyu. Kecil. Ditunggu
lama tapi kau tak menangis juga. Ayahmu mencoba menenangkan Mak. Dokter bilang
kau meninggal. Mak bahkan tak bisa menangis lagi.”
Mak,
tahukah engkau bagaimana hatiku basah
mendengar cerita itu. Aku sehat sekarang. aku sudah beranjak dewasa. Bahkan aku
sering membantahmu. Oh, inikah balasan yang kuberikan?
Mak,
masih ingatkah saat aku meminta
dibelikan sepatu baru dulu. Sepatu putih yang ada lampunya itu. Aku memaksa
meski aku tahu engkau tidak memiliki cukup uang. Aku marah, bilang aku tidak
akan pulang ke rumah. Aku bermain ke umbul. Mungkin aku kualat, aku jatuh di
tebing yang curam. Tanganku terkilir. Kakiku berdarah-darah. Dan kau dengan
begitu panik membawaku berobat.
Tidak
sampai di situ aku menyusahkanmu. Sejak kecil, sejak masih bayi. Aku terlahir
dengan penyakit bawaan. Setiap bulan wajib sakit. Rumah sakit, selang infus,
obat, dokter dan jarum suntik bukan hal baru bagiku. Bahkan engkau pernah marah pada dokter sebab menyuntik di
bagian kedua pahaku. Dokter bilang, ini demi kesembuhanku.
Mak,
aku tidak pernah menjadi anakmu yang membanggakan. Tapi aku tahu engkau bangga
padaku. Kau bilang, cukuplah menjadi anak yang shalih saja. Biar bisa mendoakan
Mak dan Ayah ketika tak ada nanti. Oh, andai engkau tahu, aku tak suka engkau
berbicara seperti itu. Aku ingin engkau ada di sisiku selamanya, Mak.
Mak,
ayah memintaku masuk pesantren. Berarti aku harus jauh darimu. Aku tidak siap,
Mak. Aku tidak bisa. Aku menangis seharian. Tapi tak kujelaskan alasanku yang
sebenarnya. Aku bilang saja aku ingin sekolah umum. Engkau malah membujukku. Aku
akhirnya menurut juga. Tahukah engkau,
Mak. Bertahun-tahun aku berpisah denganmu. Aku kerjakan semua sendiri. Saat itu
aku rindu engkau meneriakiku untuk makan. Menyuruhku tidur secepatnya. Memintaku
meminum obat sebelum tidur. Dan itu semua tak ada.
Mak,
catatan harianku penuh namamu. Engkau pernah membacanya, bukan? Dan engkau
menangis. Aku malu, ini catatan pribadiku. Mengapa Mak harus baca?
Mak,
belum selesai abdimu kepada kami. Engkau seperti malaikat yang sengaja diutus
Tuhan. Aku masih ingat bagaimana engkau harus berjuang sendirian ketika ayah jatuh sakit. Dan aku adalah anak
laki-lakimu yang tidak bisa diharapkan.
Begitupun kau masih saja memerhatikanku. Padahal, engkau sendiri? Siapa
yang memerhatikanmu, Mak.
Mak,
maafkan aku jika saat ini masih saja aku mengadu. Padahal seharusnya akulah
yang mendengarkan keluh kesahmu. Tahukah,
Mak. Dalam sholat aku meminta agar Allah memberikanku perempuan seperti engkau.
Perempuan yang tidak pernah mengeluh. Pekerja keras dan apa adanya. Perempuan yang
tidak suka mengunjing. Perempuan yang baik budinya. Meski aku tahu, itu hanya sekadar harapan.
Mak,
terima kasih telah melahirkanku dengan indah. Mendidikku dengan iman. Aku bersyukur
memiliki engkau, yang taat pada Allah. Yang sering mengingatkanku untuk sholat.
Meski hari ini aku memberikanmu gunung emas sekalipun. Tak berbalas
dengan setetes air susumu. Mak, biarlah angin yang menyampaikan gemuruh rindu
di hatiku ini. Aku mencintaimu dengan segenap jiwa ragaku.
“Allah,
pintaku apapun kebaikan yang pernah aku lakukan untukMu. Cukup beri
ganjarannya pada Mamakku. Sungguh demi engakau, Mak. Aku rela dijilat
api neraka.”
Di
Rumah Cahaya FLP-Sumut, ketika langit tengah hari begitu gelap.
*Ragha Putra adalah nama pena dari Abdi Putra Siregar.
0 komentar:
Posting Komentar