Pagi mendung. Bau hujan masih mengepung. Aku menjenguk dari balik jendela menengadah langit yang abu-abu. Tempat ini sunyi. Tenang dan damai. Tak ada suara ribut-ribut. Meski sesekali raunga motor, tangisan anak kecil dan lengking suara ibu memanggil anaknya, menyuruh pulang; tidur siang atau mandi.
Aku menghirup udara ini dalam-dalam. Rindu menyeruak pada kampung halamanku seketika. Rindu yang kian tanak saat seluit wajah Mak tergambar di langit sana. Saat mata penyayang Ayah berkedip kepadaku, bilang kapan kau pulang?
Sampai rindu itu kian membuncah dan aku ingin segera pulang. Tapi tidak sekarang, aku masih ingin terus berjuang; mewujudkan segudang mimpiku, menuliska novel tentang engkau, Mak.
Ya, itulah sekarang yang tengah menggelayuti asaku. Aku ingin menulis tentang ibuku. Sebab ia pernah bilang, "Mak tidak pernah menyangka kalau kau bisa menulis."
Aku hanya tersenyum saat itu. Senyum malu-malu. Sebab sampai hari inipun aku masih tidak pernah percaya diri.
Aku coba membuktikannya, Mak, dengan mengirimkan karya-karyaku ke koran-koran. Alhamdulillah, sepanjang aku menulis selalu diterima oleh redaktur dan perlahan teman-temanku mulai percaya bahwa aku bisa menulis. Meski banyak yang tidak suka, itu biasa bagiku.
Aku selalu ingat apa yang sering dibilang, Mak, percayalah pada kemampuanmu sendiri. Tak usah pikirkan apa kata orang, ambil yang baik dan buang yang buruk. Orang-orang yang tidak menyukai kita sering kali adalah orang-orang yang paling memperhatikan kita. Maka berikan yang terbaik. Jadilah anak Mak yang membanggakan.
Meski aku selalu menorehkan kecewa untukmu, Mak. Aku bersumpah akan menulis kisah tentang kau. Kau adalah ibu yang hebat. Kau ajarkan kami bagaimana menjalai hidup yang kejam ini dengan baik. Kau didik aku dengan iman, selalu berpesan agar aku tidak pernah meninggalkan solat.
Dulu, ketika aku SD, aku adalah anakmu yang paling besar kemaunnya. Selalu memaksa untuk dibelikan ini dan itu. Tidak pernah mau tahu, Mak ada uang atau tidak. Mak hanya bilang, jika ada rezeki insyallah akan dibeli. Aku malah tak mengerti dan mencak-mencak tak karuan.
Ah, Mak, sekarang aku tengah membongkar memoarku tentangmu. Kau memang bukan siapa-siapa, bukan pejabat atau pemerintah. Tapi di sini, di hatiku, kau adalah napasku.
Semoga aku bisa melakukannya. Aku hanya mau bilang pada dunia; aku memiliki Mak yang sederhana, polos dan apa adanya.
Pages
Catatan Hati Seorang Anak 2
Sang Penandai
Senin, 02 April 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Facebook Badge
Facebook Badge
Pengikut
Entri Populer
-
Tsunami Aceh tahun 2004 lalu masih menyisakan luka yang mendalam. Tidak hanya bagi korban bencana, namun siapapun yang melihat dan menden...
-
Ringkasan Novel: Langit Senja Kota Medan. Pagi itu adalah pagi yang menyenangkan bagiku. Pagi yang berbeda. Pagi yang menyisakan ha...
-
Oleh : Sang Penandai Sebenarnya saya bukanlah seorang maniak film. Apalagi film-film import, toh film-film dalam negeri saja saya banya...
-
Kau Sahabat Kau Teman Telah tiba saat waktu kau tinggalkan kami Kerana takdir yang Maha Esa telah menetapkan Sedih rasanya hati ini bil...
-
Sebenarnya aku sendiri tidak tahu pasti muasal kata lebay ini. Kata ini begitu populer di awal tahun 2008, saat itu salah seorang teman k...
Labels
- Non Fiksi (1)
Makk :'(
Kakak kangen T_T