Pages

Langit Senja

Senin, 09 April 2012 0 komentar


Ringkasan Novel: Langit Senja Kota Medan.

Pagi itu adalah pagi yang menyenangkan bagiku. Pagi yang berbeda.  Pagi yang menyisakan harapan tentang  rasa  yang belum bisa aku mengerti. Ini tentang dia, murid baru pindahan di sekolahku.  Dia yang  saat memperkenalkan namanya sebagai Ayunda.  Ya, namanya seindah rupanya.  Gadis kecil dengan rambut dikucir dua. Berkulit kuning langsat. Tanpa lesung pipi.  Berpakaian putih dan rok biru tua bersih dan rapi. Berbeda dengan baju putihku yang kusam, celana biruku yang pudar. Amat menyenangkan melihat wajahnya.  Ramah dengan senyum sumringah.
Jadilah pagi itu amat berbeda dengan pagi-pagi sebelumnya.  Pagi yang selalu membuatku mengerti mengapa harapan-harapan itu terus tumbuh. Umurku masih 12 tahun hari itu. Baru tumbuh remaja dan masih sedikit memahami arti degupan jantung tiap melihatnya. Degupan jantung yang sering membuat kalang kabut tiap kali ia menyapa. Padahal siapalah aku. Aku hanyalah pemuda kecil yang pemalu, tertutup dan tak memiliki banyak teman. Aku jauh dari kata popular dibandingkan dengan Radit yang tak usah perlu kujelaskan kau sendiri akan mengerti tampang dan rupanya yang mirip boy band Korea itu.
Ya, bukan sebuah ketabuan lagi jika kami anak-anak yang baru tumbuh ini mulai sibuk berdandan. Mulai pamer tampang dan kemolekan. Mulai curi-curi pandang pada orang yang kami suka dan mulai nakal untuk lebih tahu hal banyak apa yang selama ini tidak kami ketahui, biar kami tidak disebut anak-anak lagi.
Bobi bahkan pernah tertangkap basah membawa  majalah dewasa yang berujung pada pemanggilan orang tuanya. Andre, lelaki jangkung dengan kulit putih itu saban hari harus kesal dengan isi tasnya yang dipenuhi dengan surat cinta dari adik kelas bahkan kakak kelas. Rindu, gadis kecil yang pintar itu terlalu sombong untuk menolak setiap perhatian yang diberikan oleh pengagumnya. Dan aku, aku hanyalah pemuda kecil, kurus dan tidak tampan sama sekali. 
Aku sering tidak bergairah untuk datang ke sekolah sebab sekolah bukan lagi tempat belajar  tapi jadi arena bergaya dan gengsi.  Siapalah yang mau berteman dengan  anak laki-laki yang terlihat bodoh, kumal dan penjual kue keliling setiap pulang sekolah. Spontan, aku tidak punya waktu bermain seperti teman-temanku bermain. Aku tidak punya  geng seperti Radit cs. Dan beberapa kali aku sering jadi bulan-bulana mereka, bilang aku adalah makhluk aneh yang terdampar di sekolah ini. Sejak kelas satu diminta  menjadi ketua kelas  agar bisa disuruh-suruh melakukan ini dan itu. Bahkan diancam untuk tidak besar mulut setiap kali mereka merokok dan cabut. Ah, aku hanya bisa mengelus dada.
Bukan aku pengecut. Bukan. Aku bisa saja melawan, melaporkan atau apa saja kelakuan mereka pada guru BP. Tapi apa untungnya bagiku. Ini bukan seperti film-film yang selalu kalian tonton di mana orang-orang lemah akan menjadi pahlawan  setiap kali ada penindasan. Bukan, aku hanya tidak mau menambah daftar masalah yang tengah aku hadapi.  Sudah cukup semuanya. Aku bahagia dengan kehidupanku yang selalu dianggap sebelah mata. Menjadi penjual kue keliling dengan dua orang tua yang juga berjualan. Sedang mereka, mereka adalah anak-anak dari pimpinan bank di kotaku.  Pantas saja mereka belagu. 

Catatan Hati Seorang Anak 2

Senin, 02 April 2012 1 komentar

Pagi mendung. Bau hujan masih mengepung. Aku menjenguk dari balik jendela menengadah langit yang abu-abu.  Tempat ini sunyi. Tenang dan damai. Tak ada suara ribut-ribut. Meski sesekali raunga motor, tangisan anak kecil dan lengking suara ibu memanggil anaknya, menyuruh pulang; tidur siang atau mandi.

Aku menghirup udara ini dalam-dalam. Rindu menyeruak pada kampung halamanku seketika. Rindu yang kian tanak saat seluit wajah Mak tergambar di langit sana. Saat mata penyayang Ayah berkedip kepadaku, bilang kapan kau pulang?

Sampai rindu itu kian membuncah dan aku ingin segera pulang. Tapi tidak sekarang, aku masih ingin terus berjuang; mewujudkan segudang mimpiku, menuliska novel tentang engkau, Mak.

Ya, itulah sekarang yang tengah menggelayuti asaku. Aku ingin menulis tentang ibuku. Sebab ia pernah bilang, "Mak tidak pernah menyangka kalau kau bisa menulis."
Aku hanya tersenyum saat itu. Senyum malu-malu. Sebab sampai hari inipun aku masih tidak pernah percaya diri.

Aku coba membuktikannya, Mak, dengan mengirimkan karya-karyaku ke koran-koran. Alhamdulillah, sepanjang aku menulis selalu diterima oleh redaktur dan perlahan teman-temanku mulai percaya bahwa aku bisa menulis. Meski banyak yang tidak suka, itu biasa bagiku.

Aku selalu ingat apa yang sering dibilang, Mak, percayalah pada kemampuanmu sendiri. Tak usah pikirkan apa kata orang, ambil yang baik dan buang yang buruk. Orang-orang yang tidak menyukai kita sering kali adalah orang-orang yang paling memperhatikan kita. Maka berikan yang terbaik. Jadilah anak Mak yang membanggakan.

Meski aku selalu menorehkan kecewa untukmu, Mak. Aku bersumpah akan menulis kisah tentang kau. Kau adalah ibu yang hebat. Kau ajarkan kami bagaimana menjalai hidup yang kejam ini dengan baik. Kau didik aku dengan iman, selalu berpesan agar aku tidak pernah meninggalkan solat.

Dulu, ketika aku SD, aku adalah anakmu yang paling besar kemaunnya. Selalu memaksa untuk dibelikan ini dan itu. Tidak pernah mau tahu, Mak ada uang atau tidak. Mak hanya bilang, jika ada rezeki insyallah akan dibeli. Aku malah tak mengerti dan mencak-mencak tak karuan.

Ah, Mak, sekarang aku tengah membongkar memoarku tentangmu. Kau memang bukan siapa-siapa, bukan pejabat atau pemerintah. Tapi di sini, di hatiku, kau adalah napasku.

Semoga aku bisa melakukannya. Aku hanya mau bilang pada dunia; aku memiliki Mak yang sederhana, polos dan apa adanya.

Catatan Si Ragha

Senin, 26 Maret 2012 0 komentar

Pagi mendung. Langit sewarna abu rokok.  Dari balik jendela, aku melihat luka di mata seorang lelaki paruh baya. Ah, luka yang menganga. Tentang geringya hidup yang terhunus dalam tiap titian pahat yang ia torehkan. Ah, laki-laki beraroma tembakau itu, lagi-lagi memandang sambil menengadah langit.

Ini terang bukan salahnya memang jika anak-anaknya juga mengalami nasib yang kembar; hidup dalam kepungan kemiskinan yang merayap dan menyelubung. Lihatlah, bagaimana menantunya harus disergap dari dalam rumah ketika ketangkap basah sedang menyabu. Anak perempuannya meraung-raung di tengah gelap yang menyungkup. Oi, itu baru awal; kini bergulir sebuah kisah yang menghentak batin di penghujung senja. Ketika ia mendapati anak-anaknya yang lain sedang terkulai dengan mulut berbusa. Pedih, perih nian luka itu.

Seharusnya jika sudah setua ini, ia konsentrasi seperti orang tua-orang tua lainnya; rajin sembahyang ke masjid atau musholla, mengaji, wirid atau sekadar ikut hajatan dan kenduri. Ha, siapa yang tidak tergering hatinya melihat lelaki dengan tubuh ringkih sedikit bungkuk itu harus menjadi seorang penjaga malam.

Begitulah, meski hidup pedih, katanya. Tapi ia seluit sabit tetap merekah di sana. Bertengger dengan dada membuncah bagi yang melihatnya. Iyalah, kakek berhati cerlang itu tiada pernah berkira untuk membantu tetangganya. Pun rumah reot yang papan-papannya lapuk digeranyangi rayap tetap diduduki oleh tiga anaknya yang sudah menikah. Ah, potret buram.

Kalian tahu di mana mereka tinggal?

Jika misalkan kalia singgah ke Medan, terus ingin jalan-jalan ke Palladium atau menginapa semalam dua malam di Arya Duta atau Hotel Santika, sesekali cobalah untuk mencari tahu apa di balik bangunan megah ini. Ya, kalian akan terkejut, terkejut sangat. Sebab di sana, akan kalian temui sebuah perkampungan kecil sederhana dan terbelakang. Mengapa aku menyebutnya terbelakang. Ah, kukira jika kalian mau mencari tahunya sendiri kalian akan sepakat denganku.

Sudah tabiat kota besar; di balik kemegahan yang ditampilkan, ada kekumuhan yang disembunyikan. Dan kami, para mujahid pena, hidup dan berbaur dengan mereka; merasakan pedih itu, saling membahu dan bekerja sama. Inilah uniknya orang-orang kecil; masih membudaya dalam perangai mereka semangat bahu membahu, peduli memeduli.

Lantas, acap kali orang-orang yang dianggap kecil ini pulalah yang menginspirasi orang banyak untuk berbuat hal yang lebih besar. Seperti sang kakek, meski hidup digelung nestapa, namun senyum terus membara.

----Ragha Putra yang sedang belajar menulis----

Catatan Hati Seorang Anak (Ragha Putra*)

Kamis, 23 Februari 2012 0 komentar



Mak, ini catatan sengaja aku tuliskan untukmu.  Meski aku tahu engkau tidak akan membaca ini, sebab engkau terlalu sibuk mengurus kami. Hanya saja aku ingin dunia tahu, bahwa aku memiliki seorang mamak yang paling mulia. Bukan sembarang mamak, meski engkau tetap juga cerewet dan sering marah.
Mak, sesungguhnya aku tidak akan pernah sanggup hidup tanpamu. Jika orang lain bilang ibu mereka adalah sumber kekuata mereka, maka bagiku kau adalah napasku, detak jantungku. Apa jadinya aku jika engkau tak ada. Apa jadinya jika engkau membenciku.
Mak, pernah aku tidak suka setiap kali engkau memerengutiku. Saat itu aku tahu aku telah begitu menyakitimu. Seperti yang sering engkau bilang, aku adalah anak lelakimu yang keras kepala. Suka menghancurkan perabotan dan alat-alat make-up mamak ketika aku merajuk. Setelah itu, aku lari dari rumah, tak pulang seharian. Engkau dengan cemas mencariku, bilang bahwa engkau tidak akan marah padaku. Tapi, malam itu Ayahlah yang telah menghajarku habis-habisan. Dan engkau membelaku habis-habisan pula.
Mak, di antara kami bertiga, mengapa aku yang paling engkau perhatikan. Bukankah itu akan membuat iri kedua adikku. Bukankah itu membuatku menjadi anak lelaki yang manja. Ah, entahlah. Kadang aku benci dengan perlakuan yang sering berlebihan. Aku tak butuh untuk diingatkan makan, istrahat  dan segala tetek bengek menyangkut diriku.  Dan aku pernah membentakmu , bilang bahwa aku bukan anak-anak lagi.
Mak, aku pernah meminta engkau menceritakan bagaimana aku dilahirkan dulu. Lalu pada sebuah malam yang masih belia, saat kita berdua bercengkrama di beranda rumah, engkau dengan air mata tertahan bercerita.
“Mak dulu tidak siap untuk melahirkanmu. Bukan tidak senang dengan kelahiran putra pertama. Mak dalam keadaan sakit. Harus operasi tapi Mak tak mau. Mak rela mati demi agar kau bisa selamat. Dengan sisa-sisa tenaga yang Mak punya kau lahir. Kau tak menangis. Tubuhmu yang masih merah darah itu begitu kuyu. Kecil. Ditunggu lama tapi kau tak menangis juga. Ayahmu mencoba menenangkan Mak. Dokter bilang kau meninggal. Mak bahkan tak bisa menangis lagi.”
Mak, tahukah engkau bagaimana hatiku  basah mendengar cerita itu. Aku sehat sekarang. aku sudah beranjak dewasa. Bahkan aku sering membantahmu. Oh, inikah balasan yang kuberikan?
Mak, masih ingatkah  saat aku meminta dibelikan sepatu baru dulu. Sepatu putih yang ada lampunya itu. Aku memaksa meski aku tahu engkau tidak memiliki cukup uang. Aku marah, bilang aku tidak akan pulang ke rumah. Aku bermain ke umbul. Mungkin aku kualat, aku jatuh di tebing yang curam. Tanganku terkilir. Kakiku berdarah-darah. Dan kau dengan begitu panik membawaku berobat.
Tidak sampai di situ aku menyusahkanmu. Sejak kecil, sejak masih bayi. Aku terlahir dengan penyakit bawaan. Setiap bulan wajib sakit. Rumah sakit, selang infus, obat, dokter dan jarum suntik bukan hal baru bagiku. Bahkan engkau  pernah marah pada dokter sebab menyuntik di bagian kedua pahaku. Dokter bilang, ini demi kesembuhanku.
Mak, aku tidak pernah menjadi anakmu yang membanggakan. Tapi aku tahu engkau bangga padaku. Kau bilang, cukuplah menjadi anak yang shalih saja. Biar bisa mendoakan Mak dan Ayah ketika tak ada nanti. Oh, andai engkau tahu, aku tak suka engkau berbicara seperti itu. Aku ingin engkau ada di sisiku selamanya, Mak.
Mak, ayah memintaku masuk pesantren. Berarti aku harus jauh darimu. Aku tidak siap, Mak. Aku tidak bisa. Aku menangis seharian. Tapi tak kujelaskan alasanku yang sebenarnya. Aku bilang saja aku ingin sekolah umum. Engkau malah membujukku. Aku  akhirnya menurut juga. Tahukah engkau, Mak. Bertahun-tahun aku berpisah denganmu. Aku kerjakan semua sendiri. Saat itu aku rindu engkau meneriakiku untuk makan. Menyuruhku tidur secepatnya. Memintaku meminum obat sebelum tidur. Dan itu semua tak ada.
Mak, catatan harianku penuh namamu. Engkau pernah membacanya, bukan? Dan engkau menangis. Aku malu, ini catatan pribadiku. Mengapa Mak harus baca?
Mak, belum selesai abdimu kepada kami. Engkau seperti malaikat yang sengaja diutus Tuhan. Aku masih ingat bagaimana engkau harus berjuang sendirian  ketika ayah jatuh sakit. Dan aku adalah anak laki-lakimu yang tidak bisa diharapkan.  Begitupun kau masih saja memerhatikanku. Padahal, engkau sendiri? Siapa yang memerhatikanmu, Mak.
Mak, maafkan aku jika saat ini masih saja aku mengadu. Padahal seharusnya akulah yang mendengarkan keluh kesahmu.  Tahukah, Mak. Dalam sholat aku meminta agar Allah memberikanku perempuan seperti engkau. Perempuan yang tidak pernah mengeluh. Pekerja keras dan apa adanya. Perempuan yang tidak suka mengunjing. Perempuan yang baik budinya.  Meski aku tahu, itu hanya sekadar harapan.
Mak, terima kasih telah melahirkanku dengan indah. Mendidikku dengan iman. Aku bersyukur memiliki engkau, yang taat pada Allah. Yang sering mengingatkanku untuk  sholat.  Meski hari ini aku memberikanmu gunung emas sekalipun. Tak berbalas dengan setetes air susumu. Mak, biarlah angin yang menyampaikan gemuruh rindu di hatiku ini. Aku mencintaimu dengan segenap jiwa ragaku.
“Allah, pintaku apapun kebaikan yang pernah aku lakukan untukMu.  Cukup beri  ganjarannya pada Mamakku. Sungguh demi engakau, Mak. Aku rela dijilat api neraka.”

Di Rumah Cahaya FLP-Sumut, ketika langit tengah hari begitu gelap.

*Ragha Putra adalah nama pena dari Abdi Putra Siregar.

Cerpen: Sahabat Langit

Rabu, 22 Februari 2012 6 komentar


Kau Sahabat Kau Teman 

Telah tiba saat waktu kau tinggalkan kami
Kerana takdir yang Maha Esa telah menetapkan
Sedih rasanya hati ini bila mngenangkan
Kau sahabatku kau teman sejati

Tulus ikhlasmu luhur budimu bagai tiada pengganti
Senyum tawamu juga katamu menghiburkan kami
Memori indah kita bersama terus bersemadi
Kau sahabatku kau teman sejati


Sudah ditakdirkan kau pergi dulu
Di saat kau masih diperlukan
Tuhan lebih menyayangi dirimu
Ku pasrah diatas kehendak yang Esa

Ya Allah,tempatkannya di tempat yang mulia
Tempat yang kau janjikan nikmat untuk hamba Mu
Sahabatku akan ku teruskan perjuangan ini
Walau ku tahu kau tiada di sisi

Perjuangan kita masih jauh beribu batu
Selagi roh masih di jasad hidup diteruskan
Sedih rasa hati ini mengenangkan dikau
Bagai semalam kau bersama kami


 Moga amanlah dan bahagia dikau di sana
Setangkai doa juga Fatehah terus kukirimkan
Moga di sana kau bersama para solehin
Ku sahabatku kau teman sejati









Sahabat Langit

Entah kapan, aku juga tidak tahu hal apa agaknya yang mengakrabkan kita. Apakah sejak kita duduk di bangku tsanawiyah kelas satu. Kau hadir meski  sekadar menyapaku, mendengar cerita-ceritaku dan sok baik memberikan tisu untukku. Kubilang untuk apa tisu ini? Kau jawab, untuk menyeka air mataku. Aku tertawa, kau pikir saat itu aku akan menangis. Tidak, tidak akan pernah ada airmata ketika aku sedang sedih. Lantas kau bilang, kau sering memergokiku menangis di kamar asrama. Kapan? Ah, aku lupa kalau aku pernah menangis.
Lalu, hampir setiap hari kita lewati jembatan hidup dengan tertawa. Ya, aku seperti adik bungsumu saja, yang harus kau jaga saban hari. kau tahu aku penyakitan. Tapi sungguh, aku tidak pernah mau kau anggap lemah. Kau berlebihan memperlakukanku. Padahal, kau bukan siapa-siapa. Kau hanya saudara seimanku dan teman satu asrama di pondok pesantren ini. Titik.
Setiap jam makan. Saat aku berjalan malas-malasan ke kamar asrama. Kau menggaet tanganku. Bilang, jadi laki-laki jangan lamban. Aku lelah. aku tidak ingin ke dapur. Lalu, aku pura-pura bilang bahwa aku sakit dan kau mengambilkan nasiku. Oh, indah sekali persahabatan itu di matamu.
Di kelas. Kita selalu sebangku. Duduk di deretan bangku kedua. Kau santri yang cerdas. Daya tangkapmu luar biasa. Sedang aku, otakku pas-pasan. Apalagi jika pelajaran itu Fisika,Kimia atau Matematika, aku menyerah. Jadi, apakah kau ingat, pernah suatu siang, aku disuruh mengerjakan pelajaran Kimia ke depan. Aku tak tahu apa-apa. Dan kau mengerjakan tugas itu di secarik kertas lalu menyerahkannya padaku. Aku lega luar biasa.

Teman-teman kita sering bilang bahwa kita adalah sendok dan garpu. Saking akrabnya. Padahal banyak yang ingin menjadi temanmu, tapi kau bilang mereka itu bukan orang-orang yang tulus.  Mereka hanya ingin berteman agar bisa kau berikan contekan. Sedang aku, tak pernah sekalipun minta kau mengerjakan tugasku. Aku hanya minta diajari bagaimana mengerjakan pelajaran yang tidak aku mengerti.
Aku pernah bertanya, bagaimana rasaya menjadi pintar dan tampan? Kau hanya balas dengan senyuman.
Kau yang bilang, bahwa aku akan menjadi penulis. Kau benar, hari ini satu persatu cerpen-cerpenku sering dimuat. Bahkan sekarang aku sudah mulai bisa menulis resensi buku, alhmdulillah dimuat juga. Aku ingat saat kau bilang, tak ada manusia yang bodoh, setiap orang diberi kecerdasan masing-masing . Oh, kau memang saudaraku yang paling baik.
Salahnya. Apakah benar ini salah? Kau terlalu baik padaku. Kau anggap aku sebagai orang yang paling diksihani. Kau merampas semua yang ingin aku rasakan. Aku lebih dianggap sebagai bayag-bayangmu. Semacam orang lemah yang tidak mampu melakukan apapun.  Aku bosan dan muak dengan segala kebaikanmu. Belum lagi kau disukai oleh santriwati yang aku sukai. Ia mengirimu surat, saat itu kau menyuruh aku membaca juga. Aku cemburu luar biasa. Bagaimana mungkin orang yang aku suka mati-matian di dalam hatiku itu menyukaimu. Parahnya, gadis belia itu meminta tolong padaku. Sebab ia tahu aku kawan baikmu. Oh, jika saja ustaz tahu hal ini. Bisa mati kita; dibotak dan dikeluarkan.
Aku cemburu denga segala yang kau miliki; tampan, pintar dan anak orang kaya pula. Mengapa hidupmu begitu beruntung? Sedang aku; kurus, jelek dan bukan anak orang kaya. Akal sehatku hilang, aku merasa menjadi kacungmu saja.  Aku menjauhimu dan kau binggung.
Aku bergabung dengan para Beo (sebuah geng yang bertingkah aneh). Sibuk menjadi bagian mereka, mengikuti gaya hidup mereka, suka keluar asrama tanpa izin. Sampai aku pernah dibotak dan diberdirikan di tengah lapangan.  Begitupun kau tak pernah benci padaku. Bahkan bertanya, apa kita punya masalah.
Kau tahu, hari di mana aku tak masuk kelas,diam-diam aku membongkar catatan harianmu. Di sanalah aku baru sadar. Aku telah menjauhi orang yang salah. Kau adalah pemuda belia yang mencoba mengamalkan Islam. Kau tulis, kau tidak akan pacaran, akan menikah selepas kuliah nanti. Ingin menda’wahkan Islam dan aku semakin malu kepadamu. Aku malu menjadi orang yang tidak tahu diri.  Dan satu lagi, hal yang paling membuatku terkejut, di sana aku masih ingat kalimat yang kau tuliskan, Ya Allah, aku ikhlas dengan KANKER OTAK ini.
Kanker otak?
Dan itu membuatku hampir luruh. Inilah pertama kali aku menangisi orang lain yang bukan berasal dari darah yang sama.  Mengapa aku baru sadar sekarang?  Mengapa aku tak pernah menanyakan kau yang sering pingsan, darah yang sering merembes dari hidungmu. Mengapa tidak pernah kuperhatikan wajahmu yag sering pucat, rambutmu yang sering rontok dan wajahmu yang kuyu? Mengapa justru kau yang menjagaiku ketika aku masuk rumah sakit dulu.
Saat itu aku mencarimu seperti orang kesetanan; ke kelas, masjid, ruang praktik, perpustakaan, kantin,  kamar mandi, lapangan bola dan menanyai setiap orang yang kutemui. Kau tak ada. Aku ingin minta maaf secepatnya.
Akhirnya kudapati kau di sebuah jembatan yang menghubungkan kita menuju dapur umum. Di sana kau tersenyum memandang ikan-ikan di kolam. Kau melempar remah-remah roti. Sedang aku, hatiku bergemuruh. Aku tidak ingin menangis di depanmu seperti janjiku dulu. Tapi, hatiku kian basah. Bagaimana mungkin orang sebaik kau harus menderita penyakit mematikan ini?
Kau menoleh ketika aku menyentuh bahumu. Sekilas tersenyum. Kau tanya, masih mau menjadi temanku? Aku gagap. Di saat seperti ini pun kau masih suka  bercanda. Aku tak membalas gurauanmu. Kenapa kau tak bilang? Itu yang keluar dari bibirku. Kau binggung. Kau tanya aku balik. Kau pintar sekali berpura-pura. Lalu, sore itu untuk pertama kalinya satu tetes air mataku jatuh. Kau sebut aku si cenggeng.  Aku tak peduli. 
“Bulan depan aku operasi. Kecil kemungkinan akan sembuh. Ini sudah stadium akhir.”
Innalillahi, aku mendongak wajahku ke langit. Menahan gemuruh. Kita sama-sama diciptakan dengan penyakit. Aku gagal jantung. Dan kau kanker otak. Dan teman-tema kita di asrama tidak ada yang tahu hal ini.
“Jika aku mati. Aku ingin mendonorkan jantungku untukmu.”
“Hei, Kawan. Ini bukan sinetron atau film drama. Kau jangan macam-macam. Kau pasti sembuh.” Aku memaku wajahmu dengan tatapanku.
Kau membuang wajahmu. Memaku kolam dengan pandangan.  Tiba-tiba darah itu merembes lagi dari hidungmu. Warnanya merah kehitaman.  Aku gugup. Kau rogoh kantung celanamu. Kau usap. Sapu tangan itu berubah warna.
“Kau harus sembuh. Kau punya beribu mimpi yang mulia.”  Kataku
“Aku ingin mati syahid. Setidaknya sebagai pelajar yang belajar karena Allah. Aku ingin syahid.”
Tak lama. Kau rubuh tiba-tiba.
***
Sudah takdir. Esoknya kau meninggal. Secepat inikah? Ah, aku bahkan tidak percaya. Aku tidak punya teman sebangku lagi. Aku tidak tahu harus minta tolong pada siapa tentang pelajaran Kimia, Fisika dan Matimatika. Aku binggung siapa yang akan menyimak hafalan Quranku.  Siapa lagi saudaraku yang akan menemani perjuangan yang belum selesai ini. Aku ingin kita berjihad bersama. Dan maaf pula, aku ingin kau meninggal dengn tubuh yang utuh. Maka, kutolak donor jantungmu.

(Cerpen ini saya dedikasikan untuk saudara saya yang telah berpulang kerahmatullahi, selamat jalan, Kawan.)  



Aku, Kau dan Musikalisasi Jiwa Kita

0 komentar


Aku, Kau dan Musikalisasi Jiwa Kita
(Diangkat dari kisah nyata)

Sejiwa dan Seirama
Senja berkeriap. Di Rumah Cahaya, aku, Jaka dan Fadli sedang masyuk dengan lakon masing-masing; membaca buku, main gitar dan fesbukkan.  Di luar sana langit sore begitu cerah. Panas masih menikam bumi.  Kami saling diam. Tak ada perbincangan. Mungkin sudah sebegitu lelah dengan rutinitas mahasiswa semester akhir yang bergalau ria dengan skripsi. Konon pula, dua orang inilah yang paling rajin bertandang ke Rumah Cahaya. Bagi mereka, Rumah ini sudah semacam rumah kedua.
Aku duduk di meja belajar. Menekuri bacaanku yang bolak-balik kuulang karena pikiranku melalang buana entah ke mana. Sumpah! Aku bosan sebenarnya.  Mau ke Gramedia yang hanya sepantaran dari rumah ini pun  aku malas. Jadilah aku menggendang-gendang meja. Bernyanyi sendiri-dalam hati. Sesekali menyisir pandangan pada dua orang ini, ah, mereka semakin tekun saja dengan dunianya.
Lalu, entah oleh sebab apa. Aku sendiri bahkan lupa, ketika tiba-tiba saja kami sudah mengitari meja. Ya, seperti ingin merencanakan sesuatu. Tapi apa?
Jaka masih sibuk dengan dunia mayanya. Fadli dengan petikan gitarnya.
“Bagaimana kalau kita ikut lomba musikalisasi puisi milad FLP?” tawarku begitu saja.
Bak gayung bersambut, Jaka menimpali dengan semangat gegap gempita, “Ya, awak setuju!” ia berteriak.
Fadli tak mau kalah. Konon ia adalah mantan anak LKK di kampusnya. Kontan saja ia semangat 45 membara. Aku sendiri bengong melihat keduanya.
“Oke, kita tak perlu banyak teori. Jika memang serius. Segera kita cari puisinya. Dan kita pilih saja puisi Bunda Helvy Tiana Rosa.” Kataku , agaknya aku sedikit mengintervensi seperti kebiasaanku yang suka memaksakan pendapat.
Mereka sepakat. Laptop dinyalakan. Kami mencari bersama puisi yang pernah ditulis oleh perintis Forum Lingkar Pena ini.
Layar berkerjap. Dalam sekejab kami mendapatkan sebuah puisi  berjudul Perempuan Suci di Taman Zikir karya penulis kebanggan kami itu. Kami membaca bersama, dalam diam. Sejenak mencoba menghayati  dan  AJAIB, seperti bohlam saja, Jaka seperti kesetrum ribuan watt tenaga listrik, ia menyala, berpuisi dengan indah tapi gagah. Dan kami menyukai caranya berpuisi. Menurutku, anak ini memiliki jiwa yang halus, sehingga, puisi apapun yang ia bacakan, kerap menyentuhku sebagai pendengar. Padahal aku bukanlah seorang penyuka puisi.
Energi ini menular, Fadli dengan kerjapan mata sudah mengengam gitar, bagiku ia seperti Rhoma Irama, si pendekar gitar. Hanya saja beda aliran musik. Anak ini tampangnya rocker  sejati.
Aku? Aha, terang saja aku tak mau kalah. Jaka masih membaca puisi. Fadli masih mencari-cari nada yang tepat untuk menemukan jiwa yang seirama. Aku  pelan-pelan mencoba melirihkan sebuah nada. Nada yang pada akhirnya menjadi sebuah lagu. Lagu yang keluar dari jiwaku begitu saja. Pun mereka. Kami merasa bahwa kami berjodoh dengan puisi ini. Puisi pertama yang berhasil kami gubah menjadi sebuah luruhan hati.

Badai Itu Datang.
Hari selanjutnya. Kami semakin serius. Serius sekali malah, sampai kami menginginkan musikalisasi ini bernyawa di tangan kami. Terpikir pula untuk menambah personil, adalah Cipta yang kami minta untuk memainkan dawai biolanya. Sayang, agaknya ia sibuk sekali dengan dunia maya. Jadilah kami seperti orang binggung, ingin memasukkan personel akhwat, tapi ini bukan solusi yang konkrit. Sebab kami selalu latihan sampai malam.
“Bagaimana kalau Bang Fad saja?” tawarku.
Mereka sepakat.  Aku langsung menghubungi, bilang bahwa malam ini kami akan latihan musikalisasi puisi. Ketua umum FLP-Sumut itu mau dan jadilah musikalisai puisi ini dibawakan oleh empat orang anak muda.
***
“Ingat, kita harus menyepakati keputusan yang telah kita buat. Ketika latihan tak perlu teori yang berbelit-belit. “ salah seorang dari kami mengingatkan.
Malam itu, Bang Fad datang dengan wajah berbinar. Kami memiliki harapan besar dengannya, sebab ia memiliki suara cukup baik. Jadilah malam itu latihan pembagian suara. Dan inilah awal malapetaka, aku yang tidak bisa bernyanyi harus mengambil suara bariton. Ah, yang benar saja. Sampai sakit jantungku menahan suaraku sendiri. Sedikit tersengal. Terang saja aku tidak setuju. Kawan-kawanku itu tetap memaksa. Aku harus apa? Menyanyi saja aku tidak bisa.
“Percuma kalian berkelakar , sekeras apapun kalian memaksa. Aku tetap tidak akan bernyayi. Aku main musik saja.“ kataku dengan intonasi tinggi. Aku menyimpan geram yang berkubang dalam.
“Bisa. Pasti bisa.” Bang Fad memaksa.
Aku mencoba tersenyum.  Satire. Dan Jakalah yang mengenali bahwa aku sudah mulai tak enak hati.  Aku malas untuk melanjutkan ini. Terserah mereka saja, mau diapakan dan mau dibawa ke mana musikalisasi ini.
“Aku mundur. Nyerah. Aku gak bisa nyanyi.” Mereka memandangku dengan tatapan kecewa. Hei, apa peduliku?
“Daripada aku buat malu. Lebih baik aku tidak ikut.”
Agaknya akulah yang menjadi trouble maker malam itu. Fadli dan Jaka sudah tak semangat lagi. Bang Fad merasa bahwa dia telah merusak suasana. Drama ini harus segera diakhiri


BERDAMAI KEMBALI
“Abanglah yang menjadi masalah. Kami sudah tidak semangat lagi.” Fadli melibas hatiku. Mengapa pula aku yang disalahkan?
“Ya udah terserah kelen. Mau lanjut, tak mau sudah.” Kataku sedingin mungkin.
Tengah malam itu aku merenung. Sesekali aku tertawa, menjaga kekompakan itu memang tak semudah membalik telapak tangan. Ego masing-masing memang harus ditepis. Aku mengalah, aku sms mereka, bilang ayo kita latihan lagi. Bukan soal kalah menang. Ini soal apakah kita orang yang bertanggung jawab apa tidak. Ini tentang apakah kita laki-laki yang berani mengambil resiko paling sulit dalam hidup, ah, kukira ini semua tak sesulit itu.
**
Kembali Berlatih
Kasihan juga sebenarnya jika melihat Bang Fad, pulang kerja  harus ke rumah cahaya. Latihan. Di sinilah kami melihat pengorbanan waktunya. Maka, latihan ini tak boleh sia-sia. Kami berjuang semampu kami. Menggeser semua ego. Mencoba memahami meski harus menelusuri batu-batu curam nan cadas.
“Kita latihan di rumah Jaka, Bang.” Kataku pada Bang Fad
Ia menurut. Selepas magrib kami latihan di lantai 3 rumah Jaka. Sebelumnya kami memastikan bahwa ini tidak akan menggangu keluarganya. Malam itu pula kami seperti orang kesetanan, berlatih kuat-kuat sampai terdengar kabar esok paginya Jaka ditegur tetangga. Tapi setidaknya, ini semua semakin mematangkan latihan kami dari malam ke malam.
Malam itu pula kami berlagak macam idol-idolan, aku menjadi Mas Dhani, Fadli sebagi Mas Anang dan Jaka sebagai Agnes Monica (aku juga binggung, mengapa Jaka memilih peran ini), dan Bang Fad sebagai peserta audisi Musikalisai Puisi. Hahaha, moment ini tak bisa aku lupa begitu saja.
      
 Latihan Terakhir.
Sejauh ini semuanya masih baik-baik saja. latihan terakhir  berjalan dengan khidmat. Tak ada kerikil seperti malam-malam kemarin. Untung saja semua pihak mendukung, Eza dengan baik hati meminjamkan camdignya, Fadli malah lebih serius lagi, dia meminjam Zimbe. Ah, di sinilah aku menelusuri jiwa-jiwa mereka. Jaka semakin matang membacakan puisi. Bang Fad semakin rancak menabuh Zimbe, dan tentu saja, alunan recorderku harus semakin baik pula.
Latihan terakhir  inI, kami kembali ke rumah cahaya. Kami segan pada keluarga Jaka, jika harus membuat keonaran di komplek rumahnya itu.

Malam Pengambilan Gambar yang Seharusnya.
Sore itu semua sudah kami persiapkan dengan baik. Kostum dan formasi sudah diatur. Rencananya malam minggu itu kami akan merekam penampilan kami. Sorenya kami latihan sebentar. Tanpa Jaka. Ia menunggu di rumahnya saja. Rencana tetaplah rencana. Allah jua yang telah menakdirkan semua terjadi. Fadli tiba-tiba ada acara dengan teman-teman kuliahnya. Jam setengah dua belas malam dia baru bisa bergabung. Bang Fad datang habis isya, aku sudah tak semangat lagi. Badai itu kembali datang. Mengapa di saat segenting ini kita masih saja bermain? Tapi, kusimpan kecewa itu dalam hati. agaknya kali ini aku berhasil untuk tidak meluapkan emosi.

Pengambilan Gambar yang Dibumbui Suasana Mistik
Adi datang, ini merupakan kabar bahagia buat kami. Dia jago mengeker angle yang tepat untuk rekaman. Sehabis rapat di rumah cahaya sore itu, kami latihan sebentar. Dewi sebagai komentator, dia adalah perintis musikalisasi di FLP ini. Tapi kali ini memang khusus ikhwan tanpa akhwat.  Kerikil tajam semakin tak ada. Kami semakin kompak. Semakin bertingkah aneh dan lucu-lucuan. Aku meski lebih tua dari Jaka dan Fadli, tapi tak ada dalam kamusku untuk menjaga imej. Toh  aku berpikir, dengan menjadi diri sendiri kita justru akan lebih dihargai. Lagi pula, imej apa yang harus aku jaga, jika saudara-saudaraku di FLP ini sudah kuanggap saudaraku sendiri.
Jaka, Adi , Eza dan Fadli sudah seperti adikku sendiri. Begitu pula Bang Fad yang sudah kami anggap sebagai kakek kami. maka, apalagi yang harus disembunyikan.

Akhirnya malam itu tiba…
Ba’da Isya, tak lupa makan indomie dulu. Kami lantas berpakaian; koko putih dan celana hitam. Cuma  si Fadli sendiri yang berkoko biru dan bersarung. Pengambilan gambar di mulai. Adi sebagai director. Kami harus berkejaran dengan waktu. Jangan sampai tengah malam dan menggangu istirahat warga sekampung. Dua kali pengambilan gambar. Tepat jam 11 malam kami selesai. Barulah cerita di balik pengambilan gambar ini dimulai.
“Bang, apakah kalian mendengar suara anak-anak yang riuh, suara perempuan yang ikut bernyanyi dan gemuruh di luar sana?” Jaka memulai membuka cerita.
Aku diam. Fadli diam. Bang Fad menganguk, agaknya ia mendengar juga.
“Ane lain lagi. Ane merasa ketika merekam tadi tanga ane berat. seperti ada yang menekan.” Adi menimpali.
Lalu mengalirlah cerita-cerita aneh yang aku tak mau mendengar lagi…..

Ah, inilah secuplik kisah di balik Drama Musikalisai Puisi. Yakinlah, setiap perdebatan antara kita sebenarnya adalah jembatan untuk menuju hati masing-masing. Selamat merayakan persaudaraan.


Rumah Cahaya 2012, ketika aku begitu gelisah sebab sudah lama tidak menulis.

Cintamu adalah Lebay

Minggu, 12 Februari 2012 5 komentar



Sebenarnya aku sendiri tidak tahu pasti muasal kata lebay ini.  Kata ini begitu populer di awal tahun 2008, saat itu salah seorang teman kuliahku mengatakan, “jadi orang jangan lebay”, sejak itu pula aku binggung, sembari membongkar kamus digital di internet, apa arti dari kata lebay.

          Perlahan tapi mantab.  Kata lebay menjadi begitu sering dan sangat familiar parkir di telinga. Konon pula, kata-kata ini begitu tersohor di tengah para abege labil (yang gak sanggup ngelihat perubahan apapun, langsung aja ngikut tanpa tahu apakah itu benar atau salah). Ya, jadilah di tahun-tahun berikutnya kata lebay menjadi kamus wajib setiap orang di negeri ini (kecuali di tanah ampat kali ya :D). Istilahnya trendsetter gitu loh!

Selidik punya selidik, eh ternyata kata lebay adalah plesetan dari kata lebih atau berlebihan. Ya, zaman sekarang setiap kata sering diplesetkan, bahkan kebenaranpun sering diplesetkan. Tahukah, Kawan, acap kali sesuatu yang salah, namun selalu diulang-ulang, ujung-ujungnya akan diterima sebagai kebenaran. Begitu pula sebaliknya.

Baiklah, kali ini aku punya cerita . Ini soal cintay lebay (halah, bahasa apa lagi ini?). Malaikat Jibril pernah berwasiat kepada Muhammad,

Hai Muhammad, hiduplah sesukamu, maka pasti kau akan mati. Dan cintailah kepada siapa yang kamu cintai, maka anda akan berpisah. Dan berbuatlah sesukamu, maka kau akan mendapatkan balasannya.”(H.R Abu Daud dari Jabir r.a)

Sejatinya sudah termaktub dalam sebuah hadis, tidak dikatakan beriman seorang muslim, sebelum ia mencintai saudaraya seperti ia mencintai dirinya sendiri. Well, aku setuju sekali dengan hadis ini, namun ada satu hal yang sering kita lupakan. Kita kerap terperangkap pada cinta buta; baik pada teman, orangtua, saudara dan  seseorang yang belum halal untuk kita cintai. Perhatikan hadis nabi berikut,

“ Cintailah kekasihmu sekedarnya saja (kecuali Allah, Rasul dan jihad) siapa tahu suatu hari nanti dia akan menjadi musuhmu, dan bencilah orang yang membencimu sekedarnya saja, siapa tahu suatu saat nanti dia akan menjadi kecintaanmu”(H.R Tarmidzi)

Apa yang bisa anda simpulkan?  Ya, benar. Seratus buat anda. Anda pintar. Cerdas (ini lebay gak ya). Nabi sudah mengatakan cintailah saudara kita dengan cara yang biasa, dengan cara yang manusiawi, bukan mendewakan atau mengelu-elukan bahwa dialah bulan, dialah bintang, ujung-ujungnya gara-gara dia pula kita banyak hutang. :p

Kawan, jika kau mencintai saudaramu, cintailah ia dengan perbuatan, perlakukan ia dengan cara yang lembut, bukan dengan bualan-bualan yang memuakkan. Aku sering melihat seseorang, ketika begitu sayang pada teman atau seseorang yang belum halal baginya, ia begitu mengebu-gebu. Seolah tiada siapapun yang lain dan patut untuk dibagikan cinta yang sama. Terlalu egois dan memaksakan hanya untuk satu cinta (palsu). Menuliskan kalimat-kalimat romantis secara berlebihan. Senang dan menganggap orang yang kita cintai adalah orang yang berbeda. Lalu, di mana cinta untuk orang-orang yang selama ini telah banting tulang membesarkanmu? Di mana cinta untuk ibu yang selalu menangis ketika mendoakanmu? Mana cinta untuk adik-adikmu yang selalu mengingatkan kau sudah makan apa belum. Halah, inilah kelebayan yang sesungguhnya.

Kawan. Mencintai saudara itu dengan perbuatan, bukan dengan kata-kata romantis. Ini kuulang, karena cinta adalah kata kerja yang memerlukan pembuktian.  Pengorbanan, bukan sekadar pengaguman luar biasa yang ujung-ujungnya membuatmu musyrik dengan cintamu yang palsu itu. Lihatlah, bagaimana kecintaan para sahabat nabi di medan perang yang saat itu mereka sedang  terluka parah dan mengalami dahaga luar biasa. Namun, apa yang terjadi? Ah, menetes air mata kau jika kuceritakan ini.

Sahabat pertama yang begitu haus mendengar suara rintihan sahabat kedua di sampingnya, “haus, haus”, begitu adunya. Sahabat pertama  itu tak tega, ia berikan seteguk air itu kepada sahabatnya yang mengadu tadi. Lalu, saat air itu hendak di minum oleh sahabat kedua, tiba-tiba ia mendengar rintihan sahabat ketiga, mengucapkan kata yang sama dan ia pun lantas melakukan hal yang sama. Seperti apa yang dilakukan  oleh  sahabat pertama. Begitu seterusnya sampai pada sahabat-sahabat yang lain. Di sana  ada begitu banyak sahabat yang terluka  dan semuanya dahaga, sedang persedian air sangat sedikit.

Sampai akhirnya mereka meninggal dalam keadaan syahid. Subhanallah. Mereka mendahulukan sahabat-sahabatnya. Itulah cinta. Cinta yang sekadarnya namun energinya luar biasa. Itulah cinta dengan perbuatan. Bukan obrolan dan kicauan romantic yang melenakan.

          Sahabat,  berhentilah terlalu mengagung-agungkan seseorang. Berhentilah mengatakan bahwa orang yang kau cintai itu berbeda. Berhentilah untuk lebay sebab saat kau melakukannya, maka siap-siaplah kau dikecewakan sebab cintamu tidak berlandaskan pada Allah.

Maka, di sini ijinkanlah aku bilang pada kalian, aku menyangi kalian karena ALLAH saja. 

 
Sang Penandai © 2011 | Designed by Bingo Cash, in collaboration with Modern Warfare 3, VPS Hosting and Compare Web Hosting