Aku, Kau dan Musikalisasi Jiwa Kita
(Diangkat dari kisah nyata)
Sejiwa dan Seirama
Senja berkeriap. Di Rumah Cahaya, aku, Jaka dan Fadli sedang masyuk dengan lakon masing-masing; membaca buku, main gitar dan fesbukkan. Di luar sana langit sore begitu cerah. Panas masih menikam bumi. Kami saling diam. Tak ada perbincangan. Mungkin sudah sebegitu lelah dengan rutinitas mahasiswa semester akhir yang bergalau ria dengan skripsi. Konon pula, dua orang inilah yang paling rajin bertandang ke Rumah Cahaya. Bagi mereka, Rumah ini sudah semacam rumah kedua.
Aku duduk di meja belajar. Menekuri bacaanku yang bolak-balik kuulang karena pikiranku melalang buana entah ke mana. Sumpah! Aku bosan sebenarnya. Mau ke Gramedia yang hanya sepantaran dari rumah ini pun aku malas. Jadilah aku menggendang-gendang meja. Bernyanyi sendiri-dalam hati. Sesekali menyisir pandangan pada dua orang ini, ah, mereka semakin tekun saja dengan dunianya.
Lalu, entah oleh sebab apa. Aku sendiri bahkan lupa, ketika tiba-tiba saja kami sudah mengitari meja. Ya, seperti ingin merencanakan sesuatu. Tapi apa?
Jaka masih sibuk dengan dunia mayanya. Fadli dengan petikan gitarnya.
“Bagaimana kalau kita ikut lomba musikalisasi puisi milad FLP?” tawarku begitu saja.
Bak gayung bersambut, Jaka menimpali dengan semangat gegap gempita, “Ya, awak setuju!” ia berteriak.
Fadli tak mau kalah. Konon ia adalah mantan anak LKK di kampusnya. Kontan saja ia semangat 45 membara. Aku sendiri bengong melihat keduanya.
“Oke, kita tak perlu banyak teori. Jika memang serius. Segera kita cari puisinya. Dan kita pilih saja puisi Bunda Helvy Tiana Rosa.” Kataku , agaknya aku sedikit mengintervensi seperti kebiasaanku yang suka memaksakan pendapat.
Mereka sepakat. Laptop dinyalakan. Kami mencari bersama puisi yang pernah ditulis oleh perintis Forum Lingkar Pena ini.
Layar berkerjap. Dalam sekejab kami mendapatkan sebuah puisi berjudul Perempuan Suci di Taman Zikir karya penulis kebanggan kami itu. Kami membaca bersama, dalam diam. Sejenak mencoba menghayati dan AJAIB, seperti bohlam saja, Jaka seperti kesetrum ribuan watt tenaga listrik, ia menyala, berpuisi dengan indah tapi gagah. Dan kami menyukai caranya berpuisi. Menurutku, anak ini memiliki jiwa yang halus, sehingga, puisi apapun yang ia bacakan, kerap menyentuhku sebagai pendengar. Padahal aku bukanlah seorang penyuka puisi.
Energi ini menular, Fadli dengan kerjapan mata sudah mengengam gitar, bagiku ia seperti Rhoma Irama, si pendekar gitar. Hanya saja beda aliran musik. Anak ini tampangnya rocker sejati.
Aku? Aha, terang saja aku tak mau kalah. Jaka masih membaca puisi. Fadli masih mencari-cari nada yang tepat untuk menemukan jiwa yang seirama. Aku pelan-pelan mencoba melirihkan sebuah nada. Nada yang pada akhirnya menjadi sebuah lagu. Lagu yang keluar dari jiwaku begitu saja. Pun mereka. Kami merasa bahwa kami berjodoh dengan puisi ini. Puisi pertama yang berhasil kami gubah menjadi sebuah luruhan hati.
Badai Itu Datang.
Hari selanjutnya. Kami semakin serius. Serius sekali malah, sampai kami menginginkan musikalisasi ini bernyawa di tangan kami. Terpikir pula untuk menambah personil, adalah Cipta yang kami minta untuk memainkan dawai biolanya. Sayang, agaknya ia sibuk sekali dengan dunia maya. Jadilah kami seperti orang binggung, ingin memasukkan personel akhwat, tapi ini bukan solusi yang konkrit. Sebab kami selalu latihan sampai malam.
“Bagaimana kalau Bang Fad saja?” tawarku.
Mereka sepakat. Aku langsung menghubungi, bilang bahwa malam ini kami akan latihan musikalisasi puisi. Ketua umum FLP-Sumut itu mau dan jadilah musikalisai puisi ini dibawakan oleh empat orang anak muda.
***
“Ingat, kita harus menyepakati keputusan yang telah kita buat. Ketika latihan tak perlu teori yang berbelit-belit. “ salah seorang dari kami mengingatkan.
Malam itu, Bang Fad datang dengan wajah berbinar. Kami memiliki harapan besar dengannya, sebab ia memiliki suara cukup baik. Jadilah malam itu latihan pembagian suara. Dan inilah awal malapetaka, aku yang tidak bisa bernyanyi harus mengambil suara bariton. Ah, yang benar saja. Sampai sakit jantungku menahan suaraku sendiri. Sedikit tersengal. Terang saja aku tidak setuju. Kawan-kawanku itu tetap memaksa. Aku harus apa? Menyanyi saja aku tidak bisa.
“Percuma kalian berkelakar , sekeras apapun kalian memaksa. Aku tetap tidak akan bernyayi. Aku main musik saja.“ kataku dengan intonasi tinggi. Aku menyimpan geram yang berkubang dalam.
“Bisa. Pasti bisa.” Bang Fad memaksa.
Aku mencoba tersenyum. Satire. Dan Jakalah yang mengenali bahwa aku sudah mulai tak enak hati. Aku malas untuk melanjutkan ini. Terserah mereka saja, mau diapakan dan mau dibawa ke mana musikalisasi ini.
“Aku mundur. Nyerah. Aku gak bisa nyanyi.” Mereka memandangku dengan tatapan kecewa. Hei, apa peduliku?
“Daripada aku buat malu. Lebih baik aku tidak ikut.”
Agaknya akulah yang menjadi trouble maker malam itu. Fadli dan Jaka sudah tak semangat lagi. Bang Fad merasa bahwa dia telah merusak suasana. Drama ini harus segera diakhiri
BERDAMAI KEMBALI
“Abanglah yang menjadi masalah. Kami sudah tidak semangat lagi.” Fadli melibas hatiku. Mengapa pula aku yang disalahkan?
“Ya udah terserah kelen. Mau lanjut, tak mau sudah.” Kataku sedingin mungkin.
Tengah malam itu aku merenung. Sesekali aku tertawa, menjaga kekompakan itu memang tak semudah membalik telapak tangan. Ego masing-masing memang harus ditepis. Aku mengalah, aku sms mereka, bilang ayo kita latihan lagi. Bukan soal kalah menang. Ini soal apakah kita orang yang bertanggung jawab apa tidak. Ini tentang apakah kita laki-laki yang berani mengambil resiko paling sulit dalam hidup, ah, kukira ini semua tak sesulit itu.
**
Kembali Berlatih
Kasihan juga sebenarnya jika melihat Bang Fad, pulang kerja harus ke rumah cahaya. Latihan. Di sinilah kami melihat pengorbanan waktunya. Maka, latihan ini tak boleh sia-sia. Kami berjuang semampu kami. Menggeser semua ego. Mencoba memahami meski harus menelusuri batu-batu curam nan cadas.
“Kita latihan di rumah Jaka, Bang.” Kataku pada Bang Fad
Ia menurut. Selepas magrib kami latihan di lantai 3 rumah Jaka. Sebelumnya kami memastikan bahwa ini tidak akan menggangu keluarganya. Malam itu pula kami seperti orang kesetanan, berlatih kuat-kuat sampai terdengar kabar esok paginya Jaka ditegur tetangga. Tapi setidaknya, ini semua semakin mematangkan latihan kami dari malam ke malam.
Malam itu pula kami berlagak macam idol-idolan, aku menjadi Mas Dhani, Fadli sebagi Mas Anang dan Jaka sebagai Agnes Monica (aku juga binggung, mengapa Jaka memilih peran ini), dan Bang Fad sebagai peserta audisi Musikalisai Puisi. Hahaha, moment ini tak bisa aku lupa begitu saja.
Latihan Terakhir.
Sejauh ini semuanya masih baik-baik saja. latihan terakhir berjalan dengan khidmat. Tak ada kerikil seperti malam-malam kemarin. Untung saja semua pihak mendukung, Eza dengan baik hati meminjamkan camdignya, Fadli malah lebih serius lagi, dia meminjam Zimbe. Ah, di sinilah aku menelusuri jiwa-jiwa mereka. Jaka semakin matang membacakan puisi. Bang Fad semakin rancak menabuh Zimbe, dan tentu saja, alunan recorderku harus semakin baik pula.
Latihan terakhir inI, kami kembali ke rumah cahaya. Kami segan pada keluarga Jaka, jika harus membuat keonaran di komplek rumahnya itu.
Malam Pengambilan Gambar yang Seharusnya.
Sore itu semua sudah kami persiapkan dengan baik. Kostum dan formasi sudah diatur. Rencananya malam minggu itu kami akan merekam penampilan kami. Sorenya kami latihan sebentar. Tanpa Jaka. Ia menunggu di rumahnya saja. Rencana tetaplah rencana. Allah jua yang telah menakdirkan semua terjadi. Fadli tiba-tiba ada acara dengan teman-teman kuliahnya. Jam setengah dua belas malam dia baru bisa bergabung. Bang Fad datang habis isya, aku sudah tak semangat lagi. Badai itu kembali datang. Mengapa di saat segenting ini kita masih saja bermain? Tapi, kusimpan kecewa itu dalam hati. agaknya kali ini aku berhasil untuk tidak meluapkan emosi.
Pengambilan Gambar yang Dibumbui Suasana Mistik
Adi datang, ini merupakan kabar bahagia buat kami. Dia jago mengeker angle yang tepat untuk rekaman. Sehabis rapat di rumah cahaya sore itu, kami latihan sebentar. Dewi sebagai komentator, dia adalah perintis musikalisasi di FLP ini. Tapi kali ini memang khusus ikhwan tanpa akhwat. Kerikil tajam semakin tak ada. Kami semakin kompak. Semakin bertingkah aneh dan lucu-lucuan. Aku meski lebih tua dari Jaka dan Fadli, tapi tak ada dalam kamusku untuk menjaga imej. Toh aku berpikir, dengan menjadi diri sendiri kita justru akan lebih dihargai. Lagi pula, imej apa yang harus aku jaga, jika saudara-saudaraku di FLP ini sudah kuanggap saudaraku sendiri.
Jaka, Adi , Eza dan Fadli sudah seperti adikku sendiri. Begitu pula Bang Fad yang sudah kami anggap sebagai kakek kami. maka, apalagi yang harus disembunyikan.
Akhirnya malam itu tiba…
Ba’da Isya, tak lupa makan indomie dulu. Kami lantas berpakaian; koko putih dan celana hitam. Cuma si Fadli sendiri yang berkoko biru dan bersarung. Pengambilan gambar di mulai. Adi sebagai director. Kami harus berkejaran dengan waktu. Jangan sampai tengah malam dan menggangu istirahat warga sekampung. Dua kali pengambilan gambar. Tepat jam 11 malam kami selesai. Barulah cerita di balik pengambilan gambar ini dimulai.
“Bang, apakah kalian mendengar suara anak-anak yang riuh, suara perempuan yang ikut bernyanyi dan gemuruh di luar sana?” Jaka memulai membuka cerita.
Aku diam. Fadli diam. Bang Fad menganguk, agaknya ia mendengar juga.
“Ane lain lagi. Ane merasa ketika merekam tadi tanga ane berat. seperti ada yang menekan.” Adi menimpali.
Lalu mengalirlah cerita-cerita aneh yang aku tak mau mendengar lagi…..
Ah, inilah secuplik kisah di balik Drama Musikalisai Puisi. Yakinlah, setiap perdebatan antara kita sebenarnya adalah jembatan untuk menuju hati masing-masing. Selamat merayakan persaudaraan.
Rumah Cahaya 2012, ketika aku begitu gelisah sebab sudah lama tidak menulis.